Bab 2: Berbohong

175 98 73
                                    

Aula Awan Putih adalah nama aula tempat makan untuk para anak murid dan penatua Kerajaan Glorantha. Hiruk-pikuk di aula Awan Putih memenuhi setiap telinga orang-orang yang ada di sana. Berbaris rapih sambil bercanda dengan teman dan mengambil makanan yang disediakan oleh para koki terkenal dari sepuluh kerajaan besar di dunia sihir. Suara tawa yang hangat dan menyenangkan di aula awan putih adalah hal yang wajib dilakukan oleh para anak murid, karena itu dapat menghidupkan suasana di aula yang mewah dan megah tersebut.

"Hei, apakah kau tahu? Tadi aku berpapasan dengan Pangeran Haeden di jalan. Dan kau tahu apa yang dia katakan kepadaku?" Gadis A bercerita sangat bersemangat kepada teman makannya dengan wajah dan telinga yang sudah penuh dengan warna merah.

Gadis B bertanya dengan antusias sambil mengejek, "Apa? Apakah pangeran mengatakan bahwa kau cantik malam ini? Huh, kurasa kau sedang bermimpi."

"Tidak, dia mengatakan aku imut saat memakai pita rambut di rambut ekor kuda ku." Gadis B terdiam sesaat dan tertawa terbahak-bahak karena perkataan temannya. Begitu juga dengan meja murid laki-laki yang sedang memainkan lelucon kepada murid lainnya.

"Kau tahu, salju apa yang dapat berjalan dengan bebas?"

"Apa?"

"Pangeran Zettha. Ha ha ha ha ha, apakah itu lucu? Hei, kenapa kau tidak tertawa? Ini sangat lucu. Ha ha ha ha, perutku sakit." Teman murid laki-laki itu dengan cepat melihat ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar dan melaporkannya kepada Pangeran Mahkota. Dan kepalanya akan dipenggal untuk digantung di gerbang istana.

"Apakah kau gila!"

Tak lama kemudian, suara tawa di aula perlahan-lahan memudar seiring hawa dingin di pintu masuk aula Awan Putih menyelimuti tubuh mereka, suara tawa murid laki-laki yang tadi tertawa terbahak-bahak sekarang sudah gemetaran dan berkeringat dingin, ingin bersembunyi saja di bawah meja. Di pintu masuk, penatua Aillard dan ketiga muridnya berjalan dengan tenang dan anggun. Sepanjang mengantri dan berjalan ke meja tempat biasanya duduk, hanya ada dua murid yang tersenyum lebar di sepanjang jalan, yaitu Herles dan Haeden.

Mereka duduk, lalu memakan bubur daging sederhana yang sudah dihaluskan di wajan. Haeden berdeham dan melirik Zettha dengan mulut yang penuh bubur, "Bukankah Pangeran Mahkota selalu makan dengan Raja? Kenapa sekarang mau bergabung di aula Awan Putih?"

Herles terperanjat dan terbatuk, "Uhuk, uhuk, Hae-" belum selesai melengkapkan kalimatnya. Aillard menyela dengan nada datar.

"Haeden, jangan berbicara saat makan."

Haeden mengerucutkan bibirnya dan mematuhi perkataan gurunya, melirik sebentar ke arah kakaknya yang wajahnya masih setenang biasanya. Secara kebetulan, mata Phoenix Zettha bertemu dengan mata almond Haeden yang melirik diam-diam dirinya.

"Apa yang kau lihat?"

"Hump, tidak ada gunanya melihat wajah mu yang dingin itu." Haeden bergumam pelan, tapi masih bisa didengar oleh Zettha.

Zettha, "...."

Aillard, "Setelah ini, ikut aku ke istana Raja. Kita mendapatkan tugas."

Haeden menghela napas panjang, melihat malas makanan yang ada di tangannya. Awalnya Haeden sudah berencana untuk pergi keluar sendirian secara diam-diam ke pasar ibu kota Glorantha, dan ia bahkan sudah mengajak gurunya secara langsung, tapi ditolak secara mentah-mentah tanpa memikirkan perasaan Haeden yang terluka seperti anak anjing yang terlantar. Tentu saja, orang yang bernama Aillard pasti akan lebih mementingkan muka daripada hiburan yang tidak penting. Jika tahu akan begini, ia sudah berencana akan mengajak Herles pergi menemaninya secara diam-diam.

Haeden selalu merasa bosan di istana yang besar dan membosankan ini. Selalu setiap pagi sampai siang harus berhadapan dengan buku-buku sejarah dan formasi sihir, dan setelahnya ia harus berlatih menggunakan pedang dengan baik seperti Zettha. Tapi, jika dilihat-lihat dengan baik lagi, keluar dan menyelesaikan misi tidak begitu buruk. Setidaknya ia tidak akan terus-menerus bertemu dengan Zettha.

Haeden tersenyum licik, ia tahu bahwa Zettha tidak akan mau pergi jika tugas misinya kali ini sangat mudah jika diselesaikan dalam sekali berkedip.

Haeden tertawa sumringah, "Ha ha, baik guru. Kakak tidak ak-" tetapi disela lebih dulu oleh suara gurunya.

"Zettha, kau juga pergi. Tugas ini tidak semudah yang kau pikirkan." Aillard melanjutkan, "ini misi tingkat tinggi. Dan aku mau kau juga pergi."

Haeden, "...."

Zettha mengangguk, "Baik, sesuai perkataan guru."

Senyum sumringah Haeden seketika membeku. Urat di dahinya seketika menonjol, wajahnya yang dipenuhi oleh warna darah sekarang sudah membeku seperti es. Sudah cukup baginya untuk selalu bertemu Zettha dari siang hingga malam sampai detik ini, dan mungkin sampai seterusnya. Dan mungkin juga di alam kematian pun ia akan bertemu lagi dengan wajah datar Zettha yang membosankan. Ohh! jika begini terus, ia akan mati tergeletak dengan bodoh karena selalu melihat wajah kakaknya yang selalu di bangga-banggakan oleh semua orang.

Tanpa sadar, sendok di tangannya ia remas karena terlalu jengkel. Melihatnya saja sekilas sudah cukup membuat darahnya naik. Apalagi ini harus bersamanya untuk waktu yang lama kedepannya untuk menyelesaikan tugas. Mungkin Haeden merasakan kepalanya akan pecah karena menumpuk terlalu banyak emosi. Walaupun dia dan Zettha adalah kakak beradik, dan selalu berada di istana yang sama, dan bahkan berguru dengan guru yang sama. Itu tidak akan pernah bisa membuat mereka untuk menjadi akur satu sama lain. Bahkan jika bumi terbalik pun, ke akuran tidak akan pernah menghampiri hidup mereka.

"Eden, apakah makanannya tidak enak?" Herles menatap cemas ke arah Haeden, mengerutkan alis dengan khawatir karena melihat Haeden melamun dan meremas sendok dengan ekspresi wajah yang menakutkan.

Haeden segera melihat ke samping, di mana Herles duduk di sampingnya. Herles mempunyai ciri khas tersendiri, termasuk saat dia memanggil namanya dengan panggilan dekat seperti 'Eden', dan tidak menambahkan embel-embel 'Pangeran' sebagai status penghormatan. Karena mereka juga sudah terikat dengan tali persahabatan semenjak mereka masih kecil, jadi Haeden tidak akan menjadikannya masalah yang besar.

Herles mempunyai ciri khas yang mencolok di istana Glorantha ini, seperti rambutnya yang pendek berwarna hitam pekat, tetapi ada rambut berwarna putih di bagian tengah poninya, suaranya yang serak namun halus selalu enak didengar oleh semua orang, wajahnya yang tampan tetapi juga cantik di saat bersamaan dapat membuat para wanita terpikat. Di bawah mata bulatnya ada tahi lalat kecil, dan hidungnya yang tajam seperti pedang bisa mengalahkan pedang milik Zettha, kulitnya yang putih sangat cocok dengan pakaian murid istana Glorantha yang berwarna emas mencolok. Sangat-sangat sempurna bagi anak laki-laki imut seperti Herles.

Haeden tersenyum, "Oh, tidak, ini buburnya sangat enak. Hanya saja aku sudah kenyang dan perutku sedikit ..." Haeden melanjutkan ucapannya dengan ekspresi kesakitan yang dibuat-buat, "dan perutku sakit ... ohh tidak, sepertinya aku tidak bisa pergi menjalani tugas, guru."

Zettha, "...."

Aillard, "...."

Herles, "...."

Haeden mencuri-curi pandang ke arah Aillard, tetapi tidak ada reaksi. Sepertinya ekspresinya terlalu menyakinkan akan kebohongan, sehingga gurunya berpikir untuk tidak berdebat dengan anak nakal sepertinya, atau semua orang sudah tahu bahwa dia sedang mengada-ada untuk menghindar karena kakaknya juga ikut pergi.

Dan pilihan pertama dan kedua adalah yang lebih tepat untuk menggambarkan pikiran semua orang. Bahkan orang bodoh pun bisa menebaknya.

Herles tersenyum, matanya yang bulat melengkung seperti bulan sabit, dan berkata dengan ramah, "Eden, aku akan membuatkan mu minuman herbal setelah ini, bagaimana? Apakah itu bisa sembuh nanti sebelum kita pergi bertugas?"

Haeden mengarahkan pandang ke Herles dengan mulut berkedut, berpikir di dalam hati apakah Herles ini pura-pura bodoh di depan orang-orang dan menanggapi kebohongannya yang tolol ini?

Haeden menurunkan tirai bulu matanya yang lembut, dan bergumam pelan, "Tidak perlu."

Dreams and Portal Holes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang