Bab 5: Bertengkar

121 93 62
                                    

"Hei, adik yang idiot. Kenapa kau tidak berlatih bersama dengan kami dan hanya duduk sendirian saja seperti orang tolol." Zettha berdiri di depan Haeden dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan memperhatikan Haeden dengan ekspresi sombongnya yang duduk di bawah pohon Magnolia yang berguguran.

Haeden yang melamun dan memikirkan kehidupan masa lalu tiba-tiba terganggu oleh suara samar Zettha yang menyebalkan. Dia mengangkat tirai bulu matanya di bawah sinar rembulan malam. Lalu menyingkirkan kelopak bunga yang ada di atas rambutnya yang hitam dan pendek, kemudian memandang dengan sengit orang yang ada di depannya.

Haeden masih kesal dengan Zettha, ditambah dia mengingat kembali sikap acuh tak acuhnya beberapa tahun yang lalu. Membuat ia semakin ingin meluapkan emosinya kepada orang itu.

Tapi sekali lagi, pesan yang ibunya buat di sapu tangan miliknya mengingatkannya untuk tidak pernah membenci seseorang, apalagi itu adalah keluarganya sendiri. Namun, tidak ada salahnya kan untuk membenci seseorang jika sedang marah untuk sesaat? Sungguh, hanya sesaat saja.

Sebelum Haeden mengangkat suaranya untuk membalas pertanyaan Zettha tadi, Haeden tiba-tiba menumbuhkan tanduk iblis di kepalanya dengan sebuah ide yang masuk secara tiba-tiba memasuki pikirannya. Dan tersenyum jahil di balik niatnya.

Dia menutupi mulutnya dengan tangannya dengan centil sambil tersenyum jahat di balik telapak tangannya, "Thata ku yang pemarah, kenapa kau tiba-tiba ada di sini? Apakah kau juga bolos dalam berlatih pedang? Hm?"

Zettha, "............"

Suaranya sangat jelek dan dibuat-buat dalam mengucapkannya.

Zettha bergedik ngeri di antara julukan yang Haeden berikan kepadanya dan mendengarkan Haeden berbicara dengan nada dibuat-buat seperti seorang gadis yang genit.

Zettha mengerutkan alisnya dan tidak bisa menahan jengkel. Tapi ekspresi datarnya masih mendominasi wajahnya, "Aku datang untuk mencari mu karena kau langsung pergi saat makan malam tadi, dan sedari tadi aku tidak melihatmu ada di dalam aula Nazghel."

Haeden tertegun sejenak, lalu menggodanya, "Heh, apakah kau khawatir kepadaku?"

"Cih, aku tidak sudi untuk melakukan itu."

"Benarkah?"

"Benar."

"Tapi wajahmu tidak menunjukkan bahwa kau benar-benar tidak peduli terhadapku?"

Zettha kehabisan kata-kata untuk membalas, dia tidak tahan lagi dan menyeret Haeden untuk berdiri dan pergi menuju aula Nazghel, "Menjengkelkan. Aku hanya tidak mau guru memarahiku karena tidak bisa mengatur mu dengan baik."

Haeden terkekeh seperti orang bodoh dan dengan jahil mencubit kedua pipi Zettha sambil berkata, "Thata ku selalu menutupi rasa pedulinya terhadap adiknya yang tampan ini dengan selalu menjual nama gurunya."

Haeden melepaskan tangannya dari pipi Zettha yang meninggalkan sedikit bekas kemerahan, lalu melanjutkan kata-katanya, "Tsk! Sungguh memalukan."

"......" Ekspresi wajah Zettha berubah menjadi suram dan tidak enak dipandang. Dia mengusap pipinya pelan-pelan dan kemudian berteriak rendah.

"Kau!–"

Tapi Haeden jauh lebih cepat darinya  dan segera melepaskan diri dari genggaman Zettha yang lengah dan memanfaatkan keadaan untuk pergi dengan secepat kilat setelah puas membuat Zettha kesal dengan mengeluarkan tawanya yang menggeletar.

Zettha tentu tak mau tinggal diam. Sebuah urat yang membentuk seperti perempat jalan menonjol di dekat pita dahinya.

Zettha menggertakkan giginya dan berlari secepat kilat seperti seekor burung elang yang sedang mengejar mangsanya. Zettha mengutuk Haeden di dalam hatinya disertai dengan warna wajahnya yang tak enak dipandang dan jelek. Sungguh sangat jelek. Jika saja ini bukan jam pelajaran pelatihan pedang yang wajib setiap malam para murid harus pergi ke aula Nezghal untuk melatih kemampuan mereka, maka mereka akan berkumpul dan tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Pangeran Mahkota yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya—berlari dan terus-menerus mengejar adiknya yang seperti seekor anak anjing yang bodoh.

Dreams and Portal Holes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang