"Formulir pendaftaran Harrison School? Apa Ibu berencana akan memindahkan aku ke sekolah ini?" tanya Alana lirih.
Bi Yemi mengangguk cepat. "Ya. Kau akan segera pindah di sekolah itu, Nak. Dengan prestasimu, Tuan Besar memberikan beasiswa untuk bersekolah disana sampai kuliah nanti. Jangan buang kesempatan ini, Alana." Jelasnya menggebu-gebu.
Alana nampak berpikir lalu menatap ibunya. "Apa Ibu setuju dan langsung mempercayainya begitu saja?"
Seketika bi Yemi terdiam mendengar pertanyaan Alana. "Dengar, ini bukan sebuah kebetulan Alana. Tuan Besar mempercayaimu karena kau murid yang berprestasi."
"Bukan itu yang kumaksud, Bu." Alana menghela napas. "Tidak mungkin seorang Elvanno Harrison memberikanku program beasiswa tiba-tiba seperti ini. Lagipula, Ibu tau kan jika Harrison School adalah sekolah mewah dengan biayanya yang mahal?"
Bi Yemi melihat sorot kekhawatiran di mata Alana. "Tuan Besar tidak menginginkan apapun dari kita, Nak. Ia hanya meminta agar kita lebih lama tinggal dan bekerja disini." Bi Yemi lalu mengusap lembut wajah putrinya itu. "Tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Alana. Aku akan bekerja keras agar kau bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan melanjutkan cita-citamu."
Mendengar itu, Alana tidak kuasa menahan air matanya. Ia lalu memeluk sang ibu.
Selama ini diam-diam bi Yemi selalu melihat Alana belajar dengan keras untuk mempertahankan nilainya. Setelah bekerja siang hingga malam, putrinya itu masih menyempatkan diri untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya, padahal bi Yemi tahu Alana sangat lelah.
Alana mengurai pelukan dan menghapus air matanya. "Beri aku waktu untuk memikirkannya, Bu."
Bi Yemi tahu masih tersimpan keraguan di benak Alana. Ia hanya mengangguk. "Jangan terlalu dipikirkan dan merasa terbebani, Nak. Ibu tidak akan memaksa."
Setelah membicarakan mengenai hal itu, mereka berdua bersiap untuk tidur. Sampai jarum jam menunjukkan pukul 22.50, mata Alana masih terjaga. Sejak tadi ia sangat gelisah dan sulit untuk memejamkan mata.
Dengan hati-hati, Alana bangun dari tempat tidurnya. Ia lalu membawa berkas itu menuju halaman depan kediaman Elvanno Harrison.
Alana duduk di sebuah bangku panjang yang berada di halaman depan. Dengan pencahayaan yang sangat minim, ia menikmati semilir angin malam. Beberapa pertanyaan kerapkali berputar di kepalanya. Ini terlalu mendadak bagi Alana karena ia tahu bahwa Harrison School bukan seperti sekolah biasa.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?"
Alana menatap lama berkas-berkas itu. Ia kembali menyandarkan tubuhnya di bangku tersebut. Setelah hampir seharian ini ia lelah bekerja, Alana harus dihadapkan dengan masalah kepindahannya. Ia menatap langit yang dihiasi bintang-bintang, hatinya sedikit membaik melihat keindahan itu.
Beranjak dewasa kehidupan Alana semakin sulit, ditambah lagi dengan sang kakak yang pergi meninggalkan mereka berdua. Entah dimana kakaknya itu tinggal, Alana tidak pernah peduli dan ia sangat membencinya.
Melihat kehidupan Tuan Besar, terbesit dalam hati Alana ia juga ingin memiliki kehidupan seperti keluarga itu. Segala kebutuhan mereka tercukupi dan kedua putra Elvanno Harrison yang hidup bergelimang harta disertai dengan fasilitas mewah. Alana memang tidak pernah bertemu dengan kedua putra majikannya itu, hanya saja setiap malam ibunya selalu bercerita kepada dirinya.
Tersadar akan pikirannya yang sudah semakin jauh, Alana menggelengkan kepala, berbicara pada dirinya sendiri. "Bersyukur Alana, ngga boleh ngebandingin hidup kamu dengan orang lain." Alana lalu memperbaiki posisi duduknya. Setelah berpikir cukup lama dan bergelut dengan hatinya sendiri, kini ia sudah memutuskan pilihannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/353613963-288-k562957.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Night We Met
Teen FictionAskara Harrison Chandrakala, putra kedua dari Elvanno Harrison tetap menolak saat ayahnya menyuruh untuk kembali ke Aussie. Ia tidak ingin kembali dan akan tetap tinggal bersama keluarga Harrison lainnya. Alhasil ayahnya mendaftarkan Kala di sekolah...