"Apa kau ingin membuat malu Ayah!?" Elvanno Harrison terlihat naik pitam saat mengetahui nilai Kala. Tak butuh waktu lama, ia langsung memanggil putra keduanya itu dan membentaknya.
Anggun yang mendengar suaminya terus-menerus membentak Kala, mulai membelanya. "Dia sudah belajar dengan keras. Tidak bisakah kau memberi apresiasi atas usahanya?"
"Diam! Tidak usah membelanya. Lihat? Ini akibat nya jika kau terus memanjakan Kala."
Kala yang melihat Ibunya dibentak, bereaksi. "Aku yang salah, Ayah. Tidak perlu memarahi hingga membentak Ibu. Marahi saja aku sepuasnya."
"Kau akan menjadi pewaris, Kala. Apa kau tidak malu menjadi pewaris bodoh seperti ini? Lihat kakakmu, Keandra. Dia pintar dan selalu belajar. " tanya Elvanno sarkas.
"Bukan keinginanku menjadi seorang pewaris." Kala yang merasa tersinggung, berusaha melawan. "Keandra terlihat sempurna di mata Ayah, bukan? Mengapa tidak dia saja yang menjadi penerus Ayah?"
Elvanno Harrison langsung menyingkirkan apapun yang ada di hadapannya yang membuat seisi ruangan terkejut. Berkas dan buku yang berada di atas meja jatuh berserakan ditambah lagi dengan sebuah vas bunga kecil yang ikut jatuh dan pecah menjadi beberapa bagian. "Keluar dari sini!" bentaknya. "Aku tidak sudi melihat wajahmu di rumah ini!"
Anggun berteriak histeris. "Tarik ucapanmu itu! Dia putramu, Elvanno. Apa kau tega membiarkan putramu sendiri pergi?"
Kala meraih tangan ibunya. "Tenang Ibu, aku akan baik-baik saja." Kala menatap ayahnya dan menunduk. "Aku akan pergi, maaf telah membuatmu kecewa."
Tidak ada jawaban dari ayahnya. Elvanno Harrison pun menyesal atas ucapannya tadi. Namun karena keegoisan nya sendiri, ia membiarkan Kala pergi tanpa menahannya.
Anggun berteriak memanggil Kala. Namun sebelum itu, ia mengatakan sesuatu pada suaminya. "Kau keterlaluan Elvanno! Anakku tidak pernah meminta apapun darimu! Kau bahkan tidak memahami Kala sepenuhnya. Walaupun ia tidak memiliki prestasi di bidang akademik, tapi Kala mengharumkan nama Harrison School saat olimpiade olahraga dan ia meraih juara."
Elvanno terduduk lemas. Ia sama sekali tidak tahu mengenai hal itu. Nyonya Esterla Artavia, selaku Direktur Harrison School tidak pernah memberitahunya mengenai prestasi Kala.
"Lihat? Kau bahkan tidak tau sama sekali tentang itu, bukan?" Anggun tersenyum miring melihat suaminya itu. Setelahnya ia pergi meninggalkan Elvanno Harrison seorang diri.
Anggun berjalan menuju kamar Kala. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia langsung masuk mengkhawatirkan kondisi putra nya itu. Kala yang menyadari kehadiran sang ibu pun menoleh.
"Bisakah Ibu mengetuk pintunya? Bagaimana jika aku sedang tidak menggunakan baju? Aku sudah be-" perkataan Kala harus terpotong karena Anggun memeluknya erat.
Disaat seperti ini, Kala masih saja membuat lelucon dan menghiburnya yang membuat dirinya semakin bersalah. "Ibu tahu kau sudah besar dan semakin dewasa, Nak." Anggun meneteskan air matanya di dada bidang milik Kala. "Ibu selalu bangga padamu."
Kala membalas pelukan dari sang ibu. Ia membiarkan Anggun berada dalam pelukannya.
Anggun menatap kedua mata putranya itu. Ia mengusap rambut, wajah lalu memegang kedua pundaknya. "Tolong jangan tersinggung dengan perkataan Ayahmu itu. Ia hanya terbawa emosi." Anggun memohon. "Tetap berada di kamarmu dan jangan pergi, Kala."
Kala lalu mengambil kedua tangan Anggun, berusaha menenangkannya. "Aku tetap akan pergi sampai kemarahan Ayah padaku mereda." Ia tersenyum pada ibunya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku, Bu. Aku akan berada di tempat aman."
"Kau akan kembali, kan?"
Kala mengangguk. "Iya. Jika Ayah yang menyuruhku."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Night We Met
Fiksi RemajaAskara Harrison Chandrakala, putra kedua dari Elvanno Harrison tetap menolak saat ayahnya menyuruh untuk kembali ke Aussie. Ia tidak ingin kembali dan akan tetap tinggal bersama keluarga Harrison lainnya. Alhasil ayahnya mendaftarkan Kala di sekolah...