Pertemuan Pertama

87 10 4
                                    

Pertengahan bulan Juli 2017 tepatnya di kota hujan---Bogor. Waktu itu aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Aku sudah rapih menggunakan baju seragam, tak lupa hijab instan yang selalu aku pakai. Entah kenapa aku lebih menyukai hijab instan, dibandingkan hijab yang pakai jarum pentul dan ditiup-tiup bagian ujungnya. Menurutku itu ribet sekali.

"A anterin Ayesh yo!" rengekku pada kakak laki-lakiku. Dia bernama Muhammad Rahman Ar-Rasyid. Lelaki yang paling aku cintai setelah ayah.

Aa adalah sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Sunda. Karena itu aku memanggil kakak laki-lakiku dengan sebutan Aa. Karena aku tinggal di Bogor, yang dimana memakai bahasa Sunda.

"Cie yang udah kelas dua belas," ucap A Rahman meledekku.

"Iya dong!" jawabku dengan nada sombong.

"Inget ya, gak boleh pacaran!"

"IYAAAAAAA AA!"

"Inget! Jadi cewek jangan gampang baper!"

"IYAAAAAA AA!"

"Sip!" A Rahman mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Ayo dong A! Anterin Ayesh!"

"Sudah pamit sama Umi dan Abi? Legian sekolah deket juga mau dianterin segala," kata A Rahman yang masih asik selonjoran di sofa, dengan sebuah buku yang sedang dibacanya.

"Sudah kok, ayo cepet ini tuh Ayesh udah kesiangan! A Rahman memangnya gak berangkat kerja?"

"Entar agak siangan Aa berangkatnya."

"Ya udah cepetan A!"

"Sebentar dong Aa mau ganti baju dulu, ambil kunci, dan mau pamit dulu sama Umi dan Abi. Oke?"

"Ya udah, oke! Ayesh tunggu di depan yaaa!"

"Oke!"

Aku langsung pergi ke depan untuk menunggu A Rahman di sana. Sebelum aku mengenal laki-laki yang akan menjadi pemeran utama dalam cerita ini, aku mempunyai suatu keinginan, yaitu dicintai oleh seorang laki-laki yang mempunyai kepribadian seperti A Rahman. Baik, sayang Umi, sayang aku, tidak banyak gaya dan tidak banyak bicara, aku sangat menyukai laki-laki yang kalem dan pendiam seperti A Rahman. Tipe-tipe cowok softboy.

Saat itu aku belum beranjak dari masa lalu, aku menyukai sahabat kecilku. Yang entah kemana. Kami sudah berbeda wilayah saat itu. Hari-hariku sangat flat tanpa ada dirinya. Tetapi ada sosok laki-laki yang aku cintai dalam diam saat ini, ia bernama Arkan. Dengan adanya sosok Arkan perlahan aku bisa melupakan sahabat kecilku itu.

"Ayo Ay naik!" ucap A Rahman yang sudah bertengger di motor vespa putih kesayangannya. A Rahman juga sudah memakai helm bogo berwarna cokelat.

Aku mengambil helm yang diasongkan oleh A Rahman terlebih dahulu, sebelum aku naik di jok belakang.

"Ayo A!"

"Sabar dong, baca bismillah dulu oke?"

Selalu begitu, A Rahman selalu mengingatkan aku untuk selalu membaca basmalah jika ingin melakukan pekerjaan. Kata A Rahman, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan didahului basmalah, insya Allah pekerjaan tersebut menjadi berkah.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap kami kompak. Setelah itu motor vespa putih ini melaju untuk mengantarkan kami ke sekolahku.

💗💗💗

Aku mengambil tasku yang berada di depan kelas sepuluh, tadi aku tidak sempat ke kelas karena semua murid ketika aku datang ke sekolah sudah baris dengan rapih untuk memulai upacara. Jadi, aku langsung menaruh tasku di depan kelas sepuluh.

Diary Cinta Alesha [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang