Mendengar suara Rafidan yang begitu merdu, juga hafalan Al-Qur'an yang sudah banyak, membuat aku merasa iri.
Ya jujur aku iri, sedari lulus sekolah dasar aku ingin pesantren. Namun, aku tidak diperkenankan pesantren karena waktu itu biaya yang tidak memungkinkan. Karena aku tidak ingin memberatkan, jadi ya tak apa aku tidak jadi pesantren.
Dan setelah lulus MTs aku sangat ingin melanjutkan pesantren. Namun, aku tidak bisa lagi. Karena Umi jatuh sakit. Umi mengidap mag kronis dari mulai aku kelas 9.
Penyakit Umi itu datangnya angin-anginan. Maksudku jika lagi sehat ya sehat, jika lagi lemas, akan lemas sekali. Bahkan untuk berjalan pun badan seperti melayang. Itu kata Umi. Jadi, kambuhnya itu tidak ketahuan kapan akan datangnya.Orang-orang mengetahui Umi sehat-sehat saja. Karena sakitnya itu tidak terlihat.
Pesantren adalah keinginan terbesarku. Namun, menurutku jika kondisinya seperti ini Umi lebih penting. Aku tak mau aku pesantren, sedangkan Umi sendirian di rumah dalam kondisi yang sedang sakit. Ayah pulangnya tak menentu, dan A Rahman pulangnya seminggu sekali. Aku tidak mau Umi sendiri.
Dan akhirnya masa-masa pesantren hanyalah angan-angan belaka. Terkadang aku kesal dengan orang yang menyia-nyiakan mondok. Yakni, yang kabur dari pesantren. Jujur, aku nyesek. Aku saja sangat ingin pesantren. Mereka malah tidak sungguh-sungguh. Mereka tidak tahu banyak di luar sana yang sepertiku, menginginkan mondok, tetapi ada alasan yang kuat yang membuatnya tidak bisa mondok.
Aku duduk di samping Umi yang sedang makan. Aku sudah menawarkan untuk menyuapi Umi, tetapi Umi tidak mau, Umi bisa sendiri katanya. Akhirnya aku hanya memperhatikan wajah Umi dalam diam. Wajahnya terlihat lesu. Penyakit Mag kronisnya membuat Umi harus sering makan, namun dalam porsi yang sedikit. Pokoknya, diusahakan jangan sampai telat makan. Kalau telat, badan Umi suka lemas tidak bertenaga.
"Sudah Ay, tolong ambilkan minum Umi." Umi menyodorkan piring yang masih ada sisa nasi di dalamnya.
"Habiskan Umi."
"Sudah Ay."
"Umi...."
"Umi sudah kenyang."
Umiku itu keras kepala. Sekalinya A tetap A, tidak akan menjadi Z.
"Ya sudah."
Aku mengambil piring tersebut membawanya ke tempat cuci piring. Lalu tak lupa mengambil air hangat untuk Bunda.
"Ini Um." Aku menyodorkan air minum tersebut kepada Umi. Lalu langsung diambil oleh Umi.
"Telepon A Rahman Ay, Umi kangen," ucap Umi yang kini tengah bersandar sembari menselonjorkan kedua kakinya.
Hampir setiap hari Umi teleponan dengan A Rahman. Kalau A Rahman tidak menelepon duluan, Umi yang memintaku untuk menelepon A Rahman duluan. Maklum, Umi tidak mempunyai handphone.
Bagi Umi, putra dan putrinya tetap anak kecil di matanya. Waktu A Rahman pertama kali kerja, Umi sampai menangis. Katanya, kasihan A Rahman. Lebih tepatnya, Umi sedih karena waktu bersama A Rahman tidak sebanyak ketika A Rahman masih sekolah.
"Assalamu'alaikum Umi," ucap Rahman di sebrang sana. Ya aku mendengarnya karena ketika berteleponan sering kali di loadspeaker.
"Wa'alaikumussalam Rahman."
"Maaf Um Rahman gak telepon, tadi kerjaan banyak banget."
"Iya gak apa-apa. Kamu sudah makan?"
"Belum Um. Rahman pusing mikirin kerjaan gak ada henti-hentinya."
"Sesibuk-sibuknya kamu. Jangan sampai gak makan. Umi gak mau kamu sakit. Dengar Rahman."
"Iya-iya Umi."
"Pokoknya Umi gak mau kamu sampai gak makan karena saking sibuknya. Kesehatan itu nomor satu. Penyakit itu susah dihilanginnya kalau sudah nempel. Seperti Umi."
"Iya Umi sayang. Umi sudah makan?"
"Sudah."
"Umi juga jangan telat makan."
"Iya-iya. Mau ngomong sama Ayesh?"
Aku berkata namun tidak bersuara. Gerakan mulutku mengatakan, 'Gak usah-gak usah!'
Aku sebenarnya tipe orang yang malas diajak ngobrol di telepon. Intinya malas saja, tidak tahu kenapa.
"Mana Ayeshnya?"
Heeerrrrrr
"Halo!" decakku kesal.
"Jutek amat Ay! Selow dong!"
"Hm." Aku hanya berdeham.
"Besok A Rahman pulang mau dibawain apa?"
A Rahman memang moodbaster banget kalau masalah ginian.
"Kebab!!!!" teriakku girang.
"Nah kan kalau ditanya gini aja semangat hahaha." A Rahman tampaknya tertawa puas di seberang sana. Dasar selera humor yang receh.
"Ya sudah oke, Umiii sudah dulu yaaa. Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam!" jawabku dan Umi barengan.
Setelah sambungan telepon dari A Rahman terputus. Aku membuka sosial media yang paling jarang sekali aku kunjungi. Yakni, Facebook.
Aku tersentak, karena tiba-tiba saja aku sudah masuk grup XII.IPA-2 di sana. Kenapa tidak buat grup di WA saja sih?
Aku melihat kolom anggota. Ku cari nama Arkan. Ternyata tidak ada. Ku cari nama Rafidan ternyata tidak ada juga.
Yang ada nama akun alay yang bernama 'Daks Gans'. Karena penasaran akhirnya aku stalking. Ternyata itu adalah akun...
"ARKAN?!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT yang buanyaak🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Cinta Alesha [END]✔️
HumorKisah dua anak remaja yang memiliki karakter berlawanan. Alesha---cewek cuek, jutek, mageran, dan kebanggaan guru. Dengan Rafidan---cowok petakilan, bawel, biang onar, tukang modus, sering bermasalah dengan guru dan yang pasti selalu banyak cara mem...