Pasangan

30 8 8
                                    

Hari ke-3

Hari itu adalah hari ke-tiga aku berada di kelas XII.IPA-2. Kelas yang menurutku 'kondusif' namun aku langsung menarik perkataan aku itu setelah melihat Rafidan yang sedang joget bang jali di belakang kelas dengan goyangan yang sangat ngebor.

"Bang jali... Bang jali... Euy! Orangnya bikin happy... Bikin lo ketagihaaaan! Semua jadi goyaaang euy!" Rafidan bernyanyi dengan suara yang amburadul. Lebih baik diam. Karena nafas aja dia fals, apalagi nyanyi ya Sodikin!

Dasinya ia ikatkan di kepalanya. Biar apa sih? Sumpah! Norak! Teman-temannya juga malah menambah musik dengan cara memukul-mukul meja. Membuat Rafidan semakin menikmati goyangannya. Dasar bocah sinting! Heran, kenapa cepet banget Rafidan akrab dengan teman-teman yang lain?

"AYEEEESHH!"

Eh?

Apa?

Dia manggil aku?

"AYESH!"

Aku langsung menengok ke belakang. Dia malah nyengir menampilkan sederet gigi putihnya. Dih, sok imut banget. Padahal gak ada imut-imutnya pisan.

"Jangan lupa tersenyum!"

"CIEEEEEEE!"

Pecah!

Mendadak kelas jadi seperti pasar!

Berbagai macam sorakan keluar dari mulut mereka. Fyi, aku sudah kembali duduk bersama Nur di bangku ke dua di baris ke dua dari pintu kelas. Males duduk sama Amanda. Dia selalu digoda, membuat aku juga ikut merasa risih. Biarin aja bangku itu kosong sampai Hanna kembali.

Aku hanya membalikkan badanku dengan perasaan kesal. 'Apaan sih!' decakku tak sudi kembali melihatnya.

Mataku terhenti melihat seseorang yang baru saja masuk ke dalam kelas. Dia. Dia lelaki yang selama ini aku tunggu kehadirannya di kelas ini, Dia alasan aku untuk tidak pindah kelas, karena memang keinginan aku sejak lama ingin merasakan sekelas deng Dia. Dia lelaki yang selama ini aku cintai dalam diam. Lelaki yang aku cintai hanya karena pernah jadi bahan ejekan aku dengan dia ketika kelas 10. Lelaki yang tidak mengenalku, dan aku pun hanya mengetahui namanya.

"ARKANNNNNNN!" Rafidan berteriak heboh, ia langsung memeluk Arkan. Sedangkan Arkan membalasnya dengan menjitak kepala Rafidan.

"Gak usah homo!" decak Arkan kesal.

"Gue kangen euy!"

"Jijik gue!"

Dia Arkan. Aku sampai hafal nama panjangnya. Arkan Wijaya Putra. Dia santri di Madrasah ini, sama seperti Rafidan. Tetapi aku mengenalnya dari kelas 10.

Arkan merupakan lelaki yang aku cintai diam-diam. Memerhatikan dari jauh sudah menjadi rutinitasku. Entah ini takdir atau bukan, aku bisa sekelas dengannya. Aku bahagia. Tak terasa bibirku sudah membentuk seutas senyuman.

"Santri di sini tuh banyak yang ganteng tau Al!" ucap Hanna denganku pada saat itu. Kami berjalan beriringan dengan sama-sama memegang mukena di genggaman tangan, karena baru saja selesai sholat dzuhur berjama'ah di masjid.

"Ah gak ada! Sama semua!"

"Eh kamu belum tau aja! Banyak tau! Ada Abidzar! Yusuf! Arkan!---"

Belum selesai Hanna bicara, aku memotong ucapannya.

"Arkan? Arkan yang mana ya?"

Saat itu aku tidak tahu Arkan itu yang mana. Namanya begitu asing di telingaku. Kalau Abidzar aku tahu, siapa yang tidak tahu dia. Dia itu juara dua sekabupaten. Aku mengetahuinya ketika pembagian piala ketika upacara bendera. Di sekolah ini, ketika ada yang berhasil menjuarai lomba, akan diumumkan ketika upacara hari senin. Saat itu aku mendapatkan juara olimpiade Biologi, dan Abidzar juara Qori', kami berdiri berdampingan di depan para peserta upacara.

Diary Cinta Alesha [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang