**Cerpen ini memiliki part sejenis. Skip jika phobia.**
Suara serangga malam.
Keremangan kamar tidurku juga desauan angin dari gerimis tidak membuatku nyaman dalam tidur.
Karena aku merasakan berat di bagian tubuh sisi kananku.Dalam terjaga aku mencoba menetralkan pandangan sekitar. Temaram lampu tidur meyakinkanku Josh sedang memelukku erat dari sisi kanan. Sangat dekat. Bahkan bibirnya menempel dipipiku.
Apakah...
#
Selepas makan semalam Josh meminta izin untuk menginap saja semalam di rumahku. Aku mengizinkannya . Tentu saja menyetujuinya dengan senang hati. Karena dia teman dekatku waktu di organisasi fighter dulu.Kupikir, kapan lagi aku bisa bertemu dengan dia. Apalagi untuk yg sudah berkeluarga tentu sulit mengatur waktu.
#
Sejenak dengkuran halusnya terhenti ketika aku berusaha menyingkirkan dekapannya.Dia berbisik di telingaku.
" Maaf aku khilaf, tolong berikan waktu sekali ini saja untuk rasa nyaman." Ucapnya dengan mata masih terpejam.
Aku menghela nafas sejenak dan mengendurkan kembali otot-otot tubuh.
Dan aku sadar ada cairan lengket di bagian perutku.
Aku terlalu nyenyak tidur. Ucapku dalam hati.
Mataku hanya menerawang ke langit langit kamar.
Untuk saat ini aku hanya bisa apa. Kalau sudah terjadi ya sudahlah.Lagipula tidak ada pemaksaan untuknya. Dia melakukannya dengan suka rela. Jadi aku tidak perlu terlalu sibuk untuk hal pribadinya.
#
Kalau dipikirkan tidak akan ada habisnya berasumsi ria. Beberapa teman yg aku tanya akan memberi penjelasan yg sama.Tidak ingin merusak persahabatan.
Dan hanya aku saja yg mereka inginkan.Seperti sebelumnya aku berkalimat heboh pada diri sendiri. Apa aku ini sosok universal yg bisa disukai sesama.
Berargumen hanya untuk diri sendiri tidak exist di umum karena jatuhnya aku akan terlihat over PD.
#Paginya aku mengantar Josh dengan berjalan kaki ke arah jalan lintas. Dia menunggu jemputan disitu.
Dalam perjalanan kembali seseorang memberikan lipatan kertas lalu pergi begitu saja.
Apakah...
Aku mengantongi kertas tersebut berharap nanti dirumah saja melihatnya.
Untuk mempersingkat waktu aku berjalan lewat jalan pintas di area belakang rumah kopel lama.
Menengok kearah sisi kanan terlihat kebun pisang yang subur. Indah sekali pikirku.
Hal itu mengingatku pada momen masa kecil. Sampai aku bertanya sendiri di dalam hati. Awet sekali kebun ini. Apakah sudah menjadi warisan turun temurun di keluarga pemilik kebun ini.
Anak pemiliknya salah satunya teman sebayaku. Jarang bertutur sapa karena kami beda kelas saat di taman pendidikan Islam. Aku setingkat lebih tinggi darinya.
Pemilik kebun pisang ini punya sebuah kios kecil menjual dagangan keseharian. Aku dulu menjadi langganan karena dekat dengan rumah.
Tetapi memang basic anaknya kurang dalam pergaulan dia lebih suka mendalami ilmu agama.
Sampaikan aku mengingat sesuatu dia suka sekali berdiri di kebun pisang ini. Sambil membawa buku tebal untuk menghapalnya.
Kesehariannya seperti itu saja.