Arum Mestika (3)

43 11 10
                                    




"Kerisauan Ananda bukan pada Putera Mahkota Osman Ayahanda... melaiankan pada gelar dan keterunannya. Kalaulah dia bukan Putera Mahkota, ananda akan senang hati terima perjodohan ini. Dan meski Putera Mahkota layan ananda dengan baik, tapi kami berdua tahu kalau kami tak saling cinta."

"Cinta terlalu mewah untuk orang seperti kita Ananda..."

Entah mengapa sedih hatiku dengar ucapan ayahanda, aku tak tahu nak cakap apa lagi. Selama turun temurun, tak pernah ada dari darah keturunan keluarga cempaka yang bernikah atas dasar cinta, semuanya sebab dasar politik dan keuntungan semata.

"Ayahanda dan Bonda dulu juga sama sepertimu, kami bernikah tanpa cinta. Tapi tengoklah sekarang, kami hidup dengan baik, dan hasilkan anak perempuan yang cantik dan dua anak lelaki yang tampan." Ayahanda tersenyum pandangan matanya penuh dengan kasih sayang, dia mengusap kepalaku bak sedang menghibur puteri kecilnya yang sekarang sudah dewasa.

"Apa Ayahanda dan Bonda bahagia?"

Ayahanda hanya tersenyum. Dia memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku.

Sedar tak sedar saat ini kami telahpun sampai di kediaman cempaka. Sebuah banglo berwarna putih yang berdiri gah dengan halaman depannya yang berupa sebuah taman yang berbentuk seperti labirin, juga bermacam pokok bunga yang sedang mekar mewangi serta air pancur yang di tata sedemikian rupa membuat siapapun yang datang sukar berpaling tadah dari taman ini.

Seperti biasa ketua pelayan dan semua pekerja lainnya berbaris menyambut kedatangan kami pada halaman pintu depan rumah.

Usai pintu kereta di buka, ayahanda menyuruhku untuk keluar lebih dulu, kemudian di ikuti dengan dia.

Aku tersenyum menyapa Lisa yang turut berbaris bersama dengan pelayan lain, dia ialah dayang yang bertugas mengurus semua keperluanku, yang sentiasa ada kemanapun aku pergi. Hari ini dia tak dapat temankan aku pergi istana sebab kakinya yang sedang sakit.

Biasanya jika aku pulang dari mana-mana, tak pernah ada pelayan seramai ini yang menyambut, melainkan hanya seorang ketua pelayan sahaja. Namun sebab kan aku pulang bersama ayahanda, sudah tentu akan ada sambutan macam ini untuk kepala keluarga.

"Tak lama lagi Puteri kita akan jadi ketua dalam rumah ini, pergi tanpa izin pulang tanpa berita." Ujar bonda yang penuh dengan sarkastik dengan jelingan tajam khasnya, nampak garang tapi tetap terlihat menawan.

Aku sentiasa pergi tanpa bagi tahu sesiapa apatah lagi nak minta izin, itu juga salah satu hal dari sekian perangaiku yang tak di sukai bonda.

Terdengar suara gelak tawa ayahanda saat mendengar ucapan sarkastik bonda.

"Awak terlalu manja kan dia Hassan... dia bukan lagi anak kecil, dia dah jadi seorang wanita dewasa." Kini jelingan tajam bonda berganti pada ayahanda.

Bonda lebih tegas dalam besarkan aku, sedang ayah sentiasa ikut apa sahaja kemahuanku. Saat wanita remaja lainnya belajar menjahit dan menggubah bunga, aku pergi belajar berkuda, aku juga meminta ayahanda untuk mendatangkan seorang pengajar dan seniman, kesudahannya aku belajar bersama dengan Putera Mahkota.

"Maaf kan saya Bonda, saya tak kan pergi tanpa izin lagi..."

LOVE AND REVENGEWhere stories live. Discover now