DELAPAN BELAS

10.8K 430 16
                                    

🐁🐁🐁

Hati-hatilah, kejahatan bukan tentang adanya kesempatan. Melainkan diantara kejadian-lah yang bisa menjadi celah terciptanya berpeluang.








Siang itu matahari sangat terik memancarkan cahayanya begitu panas. Namun, tak lupa ia membawa embusan angin serta ketenangan pada semesta yang kerap kali menunggu datangnya. Tampak seekor tikus putih tengah mengistirahatkan tubuh di bawah pohon rindang, seraya membaca buku miliknya.

"Sepertinya sekarang sudah waktunya gue panggil dia," ucapnya seraya menutup kembali buku di genggamannya.

"Manusia percobaan." Sudut bibirnya tertarik sedikit, membayangkan nasib gadis itu nantinya.

Ia mengetuk kulit kayu di belakangnya sebanyak dua kali, dan muncullah sebuah sinar terang tiba di hadapannya. Terlihat seorang gadis tengah terduduk melihat ke segala arah dengan wajah kebingungan.

"Selamat datang manusia."

"Wah kayaknya dari mukanya kalem." Cici memperhatikan Fifi di depan sana.

"Hey."

"Halo."

"Lah? Dia budek apa gimana?"

Gadis itu bangun dari duduknya, berjalan ke asal suara matanya menyipit menguceknya berkali-kali memperjelas penglihatannya.

"Tikus?" Tatapnya tak percaya ke sebuah makhluk kecil di depan sana.

Tikus putih itu mengerutkan dahinya samar. "Kenapa, kok, bengong?"

Dia menggeleng cepat, akhirnya dia tersadar. "Ah, halo? Ternyata tadi beneran suara orang memanggil,"

"Akhirnya setelah sekian lama angkut orang, ada yang benar juga." Senang Cici mengusap dadanya.

"Halo manusia," sapanya kembali.

"Halo tikus, saya kucing," jawab Fifi.

Mata kecil itu melotot sambil menunjuk ke depan. "Maksud kamu apa!"

Fifi yang penasaran pun akhirnya  perlahan semakin berjalan mendekat. "Eum, maaf ini yang dubbing ke mana, ya?" Dia celingak-celinguk melihat sekitar, sambil menggaruk belakang kepalanya mencari seseorang yang jail, bisa-bisanya di tempat aneh ini dia berbicara bukan kepada manusia.

"Dikata gue film kartun!" semprot Cici kepada manusia di depan. Dia tadinya ingin sekali berbicara formal, tetapi apa ini? Kenapa manusia di hadapannya sama saja seperti yang lain.

Fifi memilih berjongkok. "Saya pecinta hewan, semua segala hewan saya cintai, kamu bisa ngomong? Bisa makan juga gak? Kamu tinggal di sini digaji berapa? Dirawat orangkah? Jadi tikus gelandangan kah—"

"Stop, saya menyesal bilang kamu lebih baik—mundur! Nafasmu kena mukaku!" Fifi menatap wajah Cici benar-benar dekat.

Dia akhirnya memundurkan tubuhnya agak menjauh. "Kenapa sih saya kan cuma kepo, kamu ada baterainya nggak?" tanyanya lagi sambil melipat kedua tangannya.

"Saya bukan robot, manusia!" semburnya sudah tidak tahan.

"Ya, ya, ya, kamu tikus gelandangan, ya?" tanya Fifi sekali lagi.

"SEMBARANGAN, WAH SAYA PENSIUN AJALAH!" Nafas Cici naik-turun emosinya seperti dipermainkan.

"Kenapa, sih?" Fifi masih menatap Cici heran.

"Masih nanya kenapa?" geramnya tertahan giginya bergemelutuk.

Cici menghela nafas berat, memijat pangkal hidungnya. "Sini maju, duduk sampingku," panggilnya sambil menepuk hamparan rumput di sebelah.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang