EMPATPULUH LIMA

7.7K 359 30
                                    

🎣🎣🎣


El selalu mondar-mandir di depan ruang tunggu. Dia sangat takut Fifinya kenapa-kenapa. Dokter pun belum juga keluar dari ruangan itu.

Racun apa yang telah diminum Fifi, sehingga membuatnya memuntahkan darah sebegitu banyaknya.

"Sialan! Ini semua karena gue! Fifi jadi di sana."

"Sayang tolong sadarlah." Kepala El di sandar ke dinding, dengan kedua tangannya memukul tembok di depan.

"Sayang," kata El lirih pandangannya mulai memburam disebabkan bendungan air mata.

"El," panggil Kakek Bahri mendekat ingin menggapai punggung cucunya, ia sangat tidak tega melihat El terpuruk sendirian.

El bergeser tidak ingin disentuh sama sekali.

Lantas ia berbalik menatap dengan sorot mata tajam ke arah Kakek.

"Apa Kakek puas? El selalu menurut apa kata Kakek! Tapi yang El dapat apa? Fifi tidak pernah selamat selama berada di lingkungan Kakek, El harus apa lagi, Kek? Kenapa Kakek tidak langsung membunuh kami berdua saja! Agar urusan Kakek dan diri Kakek selesai!" tantang El dengan nafas memburu.

El yang sudah muak akan perintah Kakek yang selalu dituruti, tetapi selalu menjadi bumerang untuknya dan tidak mendapatkan apa pun yang ia inginkan, bahkan—barang sedikitpun bersama gadis tercintanya.

"El jangan berani bilang seperti itu!" tegas Kakek.

"El harus apa lagi, Kek? Jauhin Fifi? Sudah, ikut rencana Kakek memancing Mia pakai Fifi? Sudah, hasilnya apa, Kek? Fifi yang selalu tersiksa dalam semua rencana itu dan El yang hanya diam tidak bisa melakukan apa pun!" El menyugar rambutnya kasar. Satu tangannya melayang ke dinding membentur dengan kasar.

"Kakek, El cuma mau Fifi tidak yang lain, kenapa Kakek susah sekali mengabulkan itu. Apa segitu sulitnya, Kek?" cecarnya dengan bibir bergetar, masih menatap Kakek dengan sorot mata terluka.

"Maaf."

Hanya kata itu yang mampu Bahri keluarkan untuk El. Karena keegoisannya, Bahri tanpa sadar melukai cucu kesayangannya tanpa sebab. Akibat ia mengedepankan emosi dibanding mencari fakta yang ada terlebih dahulu.

"Telat, Kek, kalau mau El maafkan, bangunkan Fifi sekarang juga, El cuma mau dia!" Maniknya meloloskan cairan bening, dengan nafas tersendat.

El memilih berbalik badan tidak ingin menatap kakeknya.

Selepas ungkapan kekecewaan El menyeruak, tidak ada yang berani mendekat ke arahnya lagi, karena mereka semua di sana tahu El pikirannya tengah kalut.

Dokter keluar dari ruangan tersebut.

Dengan gerakan mendesak El langsung menghampiri membuatnya terlihat sangat putus asa.

Setelah mendengar penjelasan dari dokter, tentu dengan penanganan yang tepat. Kini kondisi Fifi bisa diselamatkan. Akan tetapi, Fifi didiagnosa mengalami Koma sementara.

El hampir oleng, ia langsung berusaha menopang tubuhnya ke dinding. Setelah mendengar penuturan dokter tersebut hatinya terasa hancur.

El langkahnya memberat seraya menatap nanar Fifi yang tengah terbaring di sana.

Setelah dia diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Kakinya melangkah mendekat ke tempat tidur pasien. El menilik lamat tubuh Fifi, dia sangat tidak tega atas penyiksaan Mia terhadap gadisnya yang mampu membuatnya naik pitam.

Tangan El gemetar ingin menyentuh tubuh Fifi yang tidak sadarkan diri.

Ruangan ini terasa sunyi hanya terdengar bunyi alat EKG, dengan ia yang mengenakan balutan gown medical pada tubuhnya.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang