TIGAPULUH TIGA

6.2K 313 40
                                    

🍷🍷🍷

Suara langkah kaki bergema di ruangan yang temaram. Terlihat ada sosok gadis yang tengah meringkuk pulas di kasurnya.

"Aku datang Fifi." Ia berjalan mendekat. Menatap Fifi memilukan karena sebentar lagi dia akan mati di tangannya.

Pisau yang sudah disiapkan sudah berada di genggamannya. Bersiap ingin menusuk kelopak mata Fifi. Namun, seketika tubuh Fifi berpindah ke samping, membuat pisau itu menusuk ke bantal.

Mata itu sekejap terbuka lebar, karena merasakan perih akibat goresan pisau di telinganya. "Pencuri!" teriak Fifi menghantam kepala orang di depan dengan bantal secara reflek, spontan orang itu mundur selangkah. Fifi menggelinding ke samping, lalu beringsut bangun.

Orang itu mencengkram kuat kepalanya. Fifi mengernyitkan dahinya samar melihat tingkah laku aneh di depan.

"Aku bukan pencuri!" teriaknya lantang, membuang pisaunya ke segala arah ingin menerjang Fifi kembali dengan menaiki kasur.

Fifi menghindar dengan merangkak ke samping, lalu melompat dari kasur. Menatap nyalang orang aneh itu.

"Kayak kenal suaranya tapi siapa?"
batin Fifi berusaha berfikir.

Punggungnya menyentuh dinding, berusaha mengatur nafasnya yang tersengal.

Orang aneh itu berhenti sejenak.

Karena cahaya yang redup Fifi tidak bisa melihat wajah orang itu, dia mengenakan serba hitam. Perawakannya seperti ia kenali, dia menelisik dengan mata menyipit. Namun, yang ia dapat ialah vas bunga yang melayang menabrak tembok di samping. Darah segar merembes keluar mengalir dari pipi, akibat serpihan yang mengenainya.

Fifi reflek membungkuk kesakitan menyentuh pipi yang terasa nyeri. Orang aneh itu sempat berteriak frustrasi sebentar, lalu kabur begitu saja. Fifi ingin mengejar, tetapi telapak kakinya menginjak serpihan kaca yang berhamburan di lantai.

"Sialan! Awas lo kalau ketemu." Ia menunduk mencengkram kuat pahanya menahan linu di kaki.

Dengan langkah tertatih dia berjalan ke arah kasur. Ini rumahnya kenapa orang itu bisa masuk begitu saja di sini. Masa di rumahnya sendiri dia tidak aman, Fifi mencengkram kuat sprei seraya berteriak frustrasi, tadi ia tidak sempat melihat pelaku.

-

Di lain tempat orang yang tadi ingin membunuh Fifi membuang maskernya ke segala arah. Berjalan gusar di taman dekat rumah Fifi.

"Bangsat Fifi! Dia tahu kelemahanku." Ia menjambak rambutnya kasar.

"Habis ini aku yakin kamu ga akan lolos lagi Fifi!" Tawanya mengudara dengan keras, dengan sorot mata menggelap.

Setelah menumpahkan kekesalannya di taman. Akhirnya dia memilih untuk pulang. Bagaimanapun Fifi ternyata tidak bisa dianggap remen walau dia sendirian. Masa lalunya yang membuat dia seperti ini dan Fifi tahu semua.

Setelah sampai di rumahnya, ia melangkah ke arah kamar masih dengan raut masam. Karena tidak berhasil membunuh Fifi.

Suara seseorang mampu memberhentikan langkahnya.

"Habis dari mana Sayang? Jangan bilang kamu habis eksekusi orang random lagi?" tanya Papa melihat anaknya mengenakan pakaian serba hitam yang sangat dia hafal.

Dia memutar tubuhnya, tersenyum samar menatap Papa. "Papa lama untuk membunuhnya, biarlah aku saja yang mendahului, lagi pula apa bedanya aku atau Papa yang bakal bunuh dia?"

Papa menggeram tertahan, menahan emosi yang memuncak. "Jelas beda Mia! Fifi itu urusan bisnis Papa dengan Bahri sama Raharja, tidak ada urusan denganmu, apalagi masalah hatimu,"

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang