TIGAPULUH SEMBILAN

5.9K 320 17
                                    

🌙🌙🌙

Akibat perkara semalam, Fifi seharian tidak keluar kamar. Bahkan Mama, Papa, dan Kakek telah membujuknya untuk keluar, tetapi tetap dia hiraukan.

Fifi seperti hidup di atas kapal yang terombang-ambing tanpa awak dan tujuan. Hari penantiannya sudah terlewati, tetapi tidak terjadi apapun kepadanya. Semua terasa aneh hingga membuat dirinya menjadi kebingungan.

"Fi buka gak? Kalau enggak Papa dobrak nih pintunya!" ancam Papa sembari menggedor pintu kamar Fifi.

"Emang nanti badan kamu ga sakit, Mas? Dobrak pintu gitu," bisik Mama di telinga Papa.

"Sttthh ... kita suruh tukang pintu yang dobrak, tapi seolah-olah itu Papa," jawab Papa juga berbisik. Dengan cepat dianggukin Mama.

"Berisik kalian, Fifi juga pasti dengar omongan kalian," cibir Kakek Raharja.

"Aneh memang," timpal Ael yang bersadar pada dinding, dia juga telah menunggu Fifi membuka pintu.

"Jangan bisanya mencibir aja kalian! Coba dong pikir juga kayak saya," sahut Papa.

"Bi," panggil Ael.

Tiba-tiba saja Bibi dari belakang Papa, sudah berjalan dengan cepat ke arah Ael.

"Ini Tuan." Bibi menyerahkan kunci cadangan ke Ael.

Belum Ael mengambil kunci itu sudah dirampas duluan oleh Papa.

"Ini juga sebenernya ide saya, cuma saya mengalah saja sama kamu anak kecil." Sambil membawa kunci itu ke pintu dan mencoba membukanya.

Pintu berhasil terbuka, mereka semua berbondong-bondong masuk ke dalam.

"Sayang kamu kenapa gak mau keluar, Nak." Mama berjalan duluan langsung menaiki tempat tidur Fifi.

Terlihat di sana Fifi tengah meringkuk di dalam selimut. Mama menyibak selimut itu, tampak Fifi tengah terlelap.

Mama tak tega melihat wajah anaknya yang sembab. Mama berkontak mata dengan semua orang di sana.

"Kenapa, ya, Rel, Fifi bisa kayak gini?" tanya Mama menatap Farel.

"Aku tidak tahu Mah, mungkin dia ada masalah," kilah Ael mungkin tentang masalah yang semalam di acara prom night.

Papa menepuk pundak Mama. "Biarin dia tidur dulu Mah yang penting kamarnya udah gak terkunci lagi."

Mama mengangguk dan mereka semua memilih beranjak dari sana.
Setelah mereka semua pergi, Fifi akhirnya membuka matanya.

"Gue malah merepotkan semua orang di sini."

-

Setelah hari itu Fifi tidak tahu harus melakukan apa lagi, kata Kakek seminggu lagi mereka semua akan pindah ke luar negeri. Fifi tidak menyangka akan melakukan perjalanan ini. Cici bagaimana, ya? Tugas ini masih berlakukan untuknya. Kenapa orang yang mau membunuhnya tidak datang.

Mendadak dia menerima telepon dari Udin yang bilang kalau Ael kecelakaan motor. Dia akan menjemputnya segera untuk pergi ke sana. Fifi dengan tergesah-gesah bersiap, langsung turun ke bawah. Ternyata rumah ini tengah sepi, sepertinya semua orang telah pergi dan tidak mengetahui hal ini.

Udin sudah menjemputnya mereka melaju ke arah yang di tuju. Motor Udin membelah jalanan melewati keramainan. Tibalah mereka di gedung terbengkalai bertingkat, Fifi menatap curiga ke arah gedung itu.

"Din, kok, ke sini, sih?" tanyanya sambil menepuk punggung Udin.

"Dia sedang disandera musuh, Fi." Tatapan tajam Udin mengarah ke gedung tua itu.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang