DUAPULUH EMPAT

7.8K 359 36
                                    

🧊🧊🧊







Hari ini telinga Fifi panas dengan lontaran pertanyaan yang dikeluarkan oleh El dan Udin. Kenapa manusia dua itu tidak bisa diam, belum lagi Anggi yang selalu minta maaf dengannya.

Memang perutnya masih sangat terasa sakit. Akan tetapi, tidak perlu sampai dikhawatirkan seperti itu.

Sekarang dirinya malah terjerat dengan El.

El menarik pergelangan Fifi pelan membawanya ke arah taman belakang. Ia ingin berontak, tetapi perut dan kakinya tidak memadai, mending sekarang dia menurut saja. Terlebih ada sesuatu yang aneh di saat dia berjauhan dengan El, entah itu perasaan Fifi atau apa dia pun tidak mengerti.

El menggiring Fifi untuk duduk di kursi taman, sebelum Fifi hendak duduk El membersihkan bangku itu terlebih dahulu.

Sudut bibir Fifi tertarik lembut, ini yang membuatnya merasa ada yang kurang kalau berjauhan dengan sahabat tubuhnya ini. El selalu memperhatikan hal kecil yang bahkan Fifi tidak terlalu memedulikan, tetapi sangat berarti.

Ini yang membuat dirinya kesal, El sudah Fifi usir berkali-kali, tetapi tetap balik ke hadapannya dan dia pun tidak bisa menolak itu.

"Sorry gue ga bawa sapu tangan," ucapnya setelah menepuk bersih debu di bangku tersebut.

"Tuan putri kali, ah, gue segala pakai sapu tangan." Fifi langsung mendaratkan bokongnya di sana tanpa meminta persetujuan El.

El yang masih berdiri pun ikut duduk di sana.

El melirik pergelangan kaki Fifi, lantas ia langsung berlutut, dengan satu kaki sebagai penyangga.

Fifi yang kakinya menjulur ke bawah terkejut. El mengapit kaki Fifi ke pangkuannya.

"Eh, kotor El." Cengahnya berusaha melepaskan kakinya.

"Kenapa bisa kayak gini?" tanyanya seraya mendongak dengan wajah serius.

"Eum, gue jalan ga hati-hati jadi gini deh," kilahnya, tidak mungkin dia bercerita kejadian sebenarnya yang ada El tambah khawatir.

El hanya mengangguk, sebelum melepaskan kaki Fifi, dia membersihkan debu yang menempel di sana.

"Cocok deh lo kalau kayak gitu, mau gak gue rekrut abis ini?" godanya.

El menaruh kaki Fifi ke tempat semula dengan lembut. Kemudian duduk di samping Fifi.

"Lo mau gue jadi budak lo?"

"Kalau lo mau itu juga El, gue ga maksa, tapi ayo!" serganya sambil menarik lengan El supaya mendekat.

"Gak maksa dari mananya coba." Ia menoleh menarik hidung Fifi hingga sang empunya mengadu kesakitan.

Fifi menarik paksa kepalanya ke belakang atas tarikan El. Membuat perutnya kram, tidak sengaja dia meringis.

"Lo kenapa?" tanya El meraih lengan Fifi.

"Itu lapar." Cengirnya dengan wajah menahan sesuatu.

"Bohongkan lo!" Mata amber itu melirik ke perut Fifi.

"Boleh gue pegang?" tanyanya tiba-tiba.

Fifi reflek memundurkan tubuhnya ke belakang, sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Mau pegang apa lo!"

"Ck, perut lo." Dagunya menggesturkan ke arah perut Fifi.

"Heh, enteng banget itu mulut main pegang-pegang aja, gak. Jangan pegang aku Mas, aku mau, aku mau." Dia meliukkan tubuhnya enggan dipegang.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang