Bab 2

15K 197 5
                                    

Sejak malam itu, Pak Bondan dan Bu Nurul tiap kali hendak bersenggama selalu memakai sarung dan Adit baru berani mengendus dan menjilat bulu ketiak sang ayah begitu mereka berdua sudah tertidur pulas setelah puas bercinta dan rutinitas endus dan jilat bulu ketiak itu berlangsung selama hampir sepuluh tahun sejak pertama kali Adit memergoki kedua orang tuanya bersenggama.

"Eh, Dit. Sepulang sekolah nanti sore mau nggak mampir ke rumah aku?" tanya Ahmad, tapi sering dipanggil Mamad yang tak lain adalah teman sebangku Adit di kelas sebelas di sebuah SMA yang cukup terkenal di kota mereka.

"Emang mau ngapain, Mad? Perasaan nggak ada tugas kelompok yang harus kita kumpulin pekan depan," sahut Adit sambil menatap bingung ke arah Ahmad yang baru saja duduk di kursi yang ada di hadapannya.

"Cuman pengin ngajak nonton aja. Kebetulan aku ada nemu sebuah video di laptop bapak waktu aku pinjem buat bikin tugas makalah kemarin," balas Ahmad penuh semangat.

"Video apaan, Mad?"

"Ada deh. Kamu pasti suka kalo udah nonton nanti," jawab Ahmad sok misterius membuat Adit refleks memutar bola mata.

"Yaudah nanti sore aku bakal mampir bentar ke rumah kamu sebelom balik ke rumah. Toh nggak ada PR juga yang mesti dikerjakan nanti malam jadi nggak masalah kalo aku telat pulang ke rumah hari ini," sahut Adit kembali melanjutkan makan siang yang sempat tertunda tadi, sementara Ahmad segera memesan semangkok bakso isi daging sapi dan segelas es teh manis.

Tak lama kemudian, bel masuk kelas pun berdering membuat Adit dan Ahmad buru-buru menghabiskan bakso pesanan mereka sebelum balik ke kelas.

"Ada masalah apa? Kok wajah kamu tiba-tiba jadi murung begitu?" tanya Ahmad cemas campur penasaran begitu melihat raut wajah Adit yang mendadak berubah cemberut.

"Aku benci pelajaran penjaskes. Lagipula berjemur di lapangan siang bolong gini bukannya bikin badan sehat, tapi malah jadi gosong karena terpanggang terik matahari," keluh Adit begitu masuk ke dalam kelas yang kini penuh murid cowok yang sedang ganti baju.

Yap selain alasan cuaca panas di luar, Adit juga agak minder kalau harus ganti baju seruangan dengan semua murid cowok di kelasnya yang kebanyakan pada ganti baju di dalam kelas siang itu.

Meski umur mereka sudah memasuki masa puber, akan tetapi pertumbuhan badan Adit seakan stuck di masa kanak-kanak. Berbeda dengan sebagian besar murid cowok di kelasnya yang sudah mulai tumbuh kumis dan janggut serta buah jakun yang membuat suara mereka jadi kedengaran agak ngebass macam suara anak remaja pada umumnya.

Bukan hanya itu saja, perubahan ukuran kontol serta helaian bulu jembut yang tampak sedikit menerawang dari balik kancut di selangkangan mereka pun turut menyumbangkan perasaan insecure dalam diri Adit.

Ada tikaman rasa iri yang mendadak menusuk hati Adit ketika tanpa sengaja melihat sekilas beberapa helai bulu jembut yang menyeruak keluar dari celah kain kancut di sisi paha sebelah kanan Ahmad yang sedang memelorotkan celana abu-abunya.

"Kok malah bengong sih? Emang kamu mau lari keliling lapangan sebanyak tiga kali putaran kalo sampai telat pergi ke lapangan sekolah," tegur Ahmad sambil mendongak menatap Adit yang hanya berdiri diam di hadapannya dengan masih memakai baju seragam lengkap, sementara murid cowok yang lain sudah selesai ganti baju dengan kaos dan celana olahraga.

"A-aku ganti baju di dalam toilet aja. Kebetulan aku juga rada kebelet pipis nih," bual Adit spontan melengos dengan pipi agak merona karena hampir saja terpergok kalau sedang bengong sambil menatap jendolan di selangkangan Ahmad yang tak kalah besar dari murid cowok di kelas mereka yang kini sudah jalan keluar kelas menuju lapangan sekolah.

"Yaudah buruan ke toilet sana karena lima menit lagi pelajaran penjaskes bakalan dimulai," ujar Ahmad sebelum Adit keluar kelas setelah mengambil baju dan celana olahraga dari dalam tas gendong.

Bisa ditebak, Adit telat pergi ke lapangan sekolah karena siang itu toilet yang berada di dekat kelasnya sedang penuh. Jadi harus mengantri dulu sebelum bisa ganti baju.

"Kenapa telat?" tanya Pak Hendi selaku guru olahraga yang mengajar di sekolahan itu begitu Adit tiba di lapangan dengan napas tersengal-sengal karena habis berlari secepat mungkin menuju lapangan, meski tetap saja telat mengikuti sesi pemanasan siang itu.

"To-toilet penuh, Pak," jawab Adit begitu irama napasnya sudah kembali teratur sambil menyeka sebulir keringat yang menitik di pelipis dengan punggung tangan.

"Trus kenapa nggak ganti baju di dalam kelas aja? Toh teman-teman kamu juga pada ganti baju di dalam kelas, kan?" cecar Pak Hendi tidak terima dengan alasan atas keterlambatan Adit mengikuti pelajaran olahraga siang itu.

"Sa-saya kebelet pipis, Pak," jawab Adit sambil berjuang keras agar tidak menatap ke arah jendolan kontol di selangkangan Pak Hendi yang kelihatan betul kalau tidak memakai kancut karena tak ada jeplakan kain kancut di balik celana training yang dipakai guru olahraga itu membuat Adit jadi teringat kembali dengan kejadian waktu dia tak sengaja memergoki kedua orang tuanya sedang bersenggama malam itu.

Meski sudah sepuluh tahun berlalu, akan tetapi bayangan kontol dan kedua biji pelir sang ayah masih terekam jelas di dalam kepala Adit seakan baru terjadi kemarin malam.

"Trus kenapa nggak pergi ke toilet waktu masih jam istirahat tadi? Lagian butuh waktu berapa menit sih kalo cuman mau kencing doang di toilet?"

"Sa-saya belom kebelet waktu lagi istirahat tadi, Pak."

"Jangan banyak alasan kamu. Buruan lari keliling lapangan sebanyak tiga kali putaran tanpa sekali pun berhenti atau kamu bakal saya suruh lari ulang dari awal lagi," titah Pak Hendi tanpa belas kasihan.

"Alaaah banyak betul, Pak. Sekali putaran aja ya?"

"Udah telat masih berani nawar pula kamu. Saya tambah jadi lima kali putaran mau kamu?"

"Jangan sadis begitulah, Pak. Bisa patah tulang kaki saya kalo disuruh lari lima kali putaran keliling lapangan," tolak Adit sambil segera lari keliling lapangan sebelum Pak Hendi menambah hukumannya menjadi lebih berat lagi.

Siapa sangka kalau berlari keliling lapangan pada siang bolong bisa begitu cepat menguras habis tenaga Adit membuat napasnya kembali tersengal-sengal padahal baru berlari setengah lapangan.

"Baru lari satu putaran aja udah ngos-ngosan begitu. Kamu laki bukan sih?" tanya Pak Hendi begitu Adit sampai di titik awal dia mulai berlari, membuat rombongan murid cowok yang berdiri di dekat mereka spontan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar omongan guru olahraga itu.

"Pelorotin aja celananya Pak biar tahu Adit beneran cowok atau bukan," celetuk salah satu murid cowok dari rombongan itu membuat pipi Adit semakin merona.

Andai kata Adit tahu bakalan jadi bahan ejekan begini, tentu saja dia akan memilih pura-pura sakit agar tidak ikut dalam pelajaran olahraga siang itu dan yang lebih bikin sakit hati adalah ketika Adit melihat sosok Ahmad juga berada dalam rombongan murid cowok yang sedang menertawakan dirinya siang itu.

Dasar teman munafik, maki Adit dalam hati sambil segera kembali berlari keliling lapangan sekolah dan bertekad tak akan berhenti sebelum putaran ketiga selesai.

Padahal Adit sempat terpincut dengan kegantengan Pak Hendi, meski perut guru olahraga itu sedikit buncit yang anehnya malah memberi kesan jantan dan kebapakan di mata Adit. Akan tetapi sekarang Adit menyesal karena pernah memuja kegantengan guru olahraga itu yang ternyata tidak sebaik seperti apa yang ada dalam bayangannya selama ini.

Siang itu, Adit baru sadar kalau ternyata banyak sekali orang munafik di dunia ini yang menjelma dalam sosok seorang teman maupun guru atau Adit saja yang terlalu naif menganggap kalau semua orang itu baik.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang