Bab 15

7.6K 182 8
                                    

Pagi itu Pak Hendi duduk di belakang meja khusus guru piket dengan muka masam karena guru olahraga itu emang paling malas kalau dapat giliran jadi guru piket, akan tetapi wajah Pak Hendi langsung berubah cerah begitu melihat sosok pemuda incarannya berada dalam rombongan murid yang datang telat pagi itu.

Setelah memberikan wejangan berupa larangan begadang agar tidak bangun kesiangan dan berakhir dengan memberikan hukuman ke rombongan murid yang datang telat pagi itu yang kebanyakan disuruh menyapu halaman dan menyikat lantai toilet.

"Dan kamu," tunjuk Pak Hendi ke arah Adit yang berada di barisan paling belakang dalam rombongan itu karena emang yang terakhir datang. "Segera ikut bapak ke gudang sekolahan ini."

"Lha ... kok cuman saya aja, Pak?"

"Jangan banyak protes kalo mau cepat masuk kelas," sahut Pak Hendi sambil segera berjalan menuju gudang yang berada di belakang gedung sekolahan itu yang sudah lama tidak dipakai.

"Buruan masuk," titah Pak Hendi setelah membuka pintu gudang sambil mengedik dagu ke arah pintu yang kini terbuka lebar itu.

Sesaat Adit berdiri bimbang di depan pintu, akan tetapi begitu mendengar geraman Pak Hendi, Adit segera beranjak masuk meski dengan perasaan was-was karena tahu tujuan mereka datang ke gudang pagi itu bukan untuk bersih-bersih karena tidak ada sapu nilon maupun kemoceng di dalam gudang yang sudah lama telantar itu.

"Lho ... kok dikunci, Pak?" tanya Adit heran campur takut ketika melihat Pak Hendi tiba-tiba mengunci pintu gudang begitu mereka masuk ke dalam.

"Tentu aja biar nggak ada yang ganggu kegiatan melukis kamu pagi ini," sahut Pak Hendi sambil mengulurkan papan klip dengan selembar kertas HVS kosong yang terjepit di bagian atasnya dan sebatang pulpen ke arah Adit.

"Me-melukis ... apa, Pak?" tanya Adit sambil menatap bingung ke arah papan klip serta pulpen yang berada dalam genggaman tangan Pak Hendi.

"Apalagi kalo bukan melukis kontol. Bukankah itu gambar yang paling kamu suka?" balas Pak Hendi santai membuat Adit seketika tercengang.

"Jangan salah paham. Saya sama sekali nggak suka gambar penis dan asal bapak tahu, bukan saya yang menggambar penis di halaman sampul belakang buku LKS saya."

"Trus siapa kalo bukan kamu?"

"Mana saya tahu. Mungkin salah satu dari teman sekelas saya yang iseng menggambar itu di buku LKS saya."

"Kenapa nggak kamu larang?"

"Tentu aja nggak saya larang karena nggak tahu waktu dia menggambar itu di buku LKS saya."

"Kok bisa nggak tahu? Bukankah itu buku LKS kamu?" cecar Pak Hendi membuat Adit hampir mengerang frustrasi mendengar pertanyaan guru olahraga itu yang ujung-ujungnya bakal kembali ke titik semula alias hanya jalan di tempat.

Meski akan lain cerita kalau Adit mau memberikan jawaban jujur. Masa sih Adit mesti buka aib ke guru olahraga itu kalau dia sudah memberikan contekan PR ke mereka? Bisa jadi hukumannya malah jadi tambah berat kalau Pak Hendi sampai tahu akan kelakuan buruknya yang sudah bagi contekan ke teman sekelas yang tidak tahu diri itu. Bukannya bilang makasih, mereka malah seenak jempol menggambar kontol di sampul belakang buku LKS-nya.

"Kalo betul buku LKS itu punya saya. Emang kenapa, Pak?"

"Itu berarti emang kamu yang udah menggambar kontol di buku LKS itu," simpul Pak Hendi membuat Adit sontak melenguh napas lelah.

"Terserah bapak aja. Saya udah capek debat sama bapak," balas Adit pasrah.

"Oke, jadi kamu beneran suka gambar kontol?" tanya Pak Hendi membuat Adit spontan memutar bola mata sembari meratap dalam hati. Salah saya apa tuhan sampai dapat guru bebal kayak gini?

"Kagak."

"Jangan bohong. Sama bapak mah santai aja. Malah bakal bapak dukung penuh hobi kamu yang suka gambar kontol itu," kata Pak Hendi seraya meraih dan meletakkan papan klip serta pulpen ke telapak tangan Adit. "Untuk sementara kamu pakai aja dulu kertas HVS itu sebagai media gambar kamu."

"Ta-tapi, Pak. Saya beneran nggak su—"

"Bapak nggak keberatan jadi model lukis kamu sebagai bukti atas dukungan bapak ke kamu," tukas Pak Hendi seakan tidak mendengar protesan Adit barusan sambil mulai memelorotkan celana training serta kancut sampai sebatas dengkul membuat kepala kontolnya yang sudah ereksi langsung tersembul dari balik celana training itu.

Adit refleks meneguk ludah begitu melihat kontol Pak Hendi yang kini sudah mengacung keras dengan urat-urat tampak bertonjolan di seputar batang kontol. Itu beneran kontol apa pentungan sih?

"Tolong segera kenakan kembali celana training beserta kancut bapak," pinta Adit sambil refleks membuang muka begitu menangkap seringaian sinis di sudut bibir Pak Hendi.

"Kenapa? Bukankah kamu butuh model lukis agar hasil gambar kontol kamu kelihatan lebih realistis?" tanya Pak Hendi sembari berjalan santai ke arah Adit yang spontan mengambil langkah mundur sampai punggung pemuda itu menabrak meja kayu yang ditata jadi satu tumpukan tinggi di bagian belakang gudang itu.

"Jangan takut," sambung Pak Hendi ketika Adit tak kunjung bersuara. Hanya merespons dengan gelengan pelan seiring langkah kaki guru olahraga itu yang memupus jarak di antara mereka. "Kontol bapak nggak bakal gigit selagi kamu melukis nanti."

"Tapi tidak dalam bentuk tiga dimensi," kata Adit dengan napas tercekat ketika jantungnya mendadak berdebar kencang. Entah karena rasa takut atau malah karena dirinya sudah mulai terangsang melihat batang kontol Pak Hendi yang tersentak-sentak liar di udara serupa jungkat-jungkit dengan pangkal kontol sebagai tumpuan daya ungkit.

"Bukankah lebih enak kalo pakai model sungguhan? Jadi bisa sekalian kamu pegang, endus atau mungkin ... sepong?" balas Pak Hendi sambil mencondongkan badan semakin merapat membuat Adit spontan melengos ketika jarak bibir mereka hanya tinggal beberapa senti.

"Sa-saya masih ... normal, pak."

"Jangan bohong kamu. Kalo emang beneran normal, kamu pasti berani buka celana serta kancut di depan bapak," bisik Pak Hendi ke telinga Adit yang masih enggan menatap matanya. "Atau kamu bisa mengaku kalo udah sange lihat kontol bapak."

"Ja-jangan," larang Adit sembari mencekal lengan Pak Hendi ketika hendak melepas gasper sabuk celana seragamnya. "Sa-saya bisa buka sendiri."

Dengan penuh rasa penasaran, Pak Hendi mengamati setiap gerakan tangan Adit yang tampak sedikit gemetaran ketika melepas sabuk serta kancing celana dan terakhir menarik ritsleting membuat celana abu-abu itu langsung meluncur turun dari kedua paha mulus pemuda itu.

"Sekarang angkat kedua tangan kamu," titah Pak Hendi ketika melihat pemuda itu berdiri dengan kedua telapak tangan menangkup ke selangkangan. "Bapak janji nggak bakal ketawa ketika lihat titid kamu nanti."

"Ta-tapi, Pak."

Tanpa peringatan Pak Hendi langsung menyambar kedua tangan Adit, lantas mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dalam satu cengkeraman tangan dan seulas senyum puas seketika merekah di bibir begitu melihat titid mungil yang mengacung lucu di selangkangan Adit yang membuat guru olahraga itu nyaris tergelak kalau saja tidak ingat dengan janjinya ke pemuda itu.

"Karena udah berani bohong ke guru, maka bapak bakal tambah hukuman kamu pagi ini," kata Pak Hendi sembari melepas kedua tangan Adit dari cekalan tangannya.

"Hukuman tambahan ... apa?"

"Tentu aja puasin kontol bapak yang udah kamu bikin ngaceng keras pagi ini," sahut Pak Hendi sambil merenggut paksa sebelah tangan Adit yang segera dia tuntun menuju batang kontolnya yang sudah lama merindukan belaian tangan serta sepongan mulut pemuda itu. "Atau kamu mau terjebak seharian di dalam gudang ini bareng bapak."

Apa pun pilihan Adit, Pak Hendi sudah bertekad tidak akan membiarkan pemuda itu kabur sebelum bisa mencicip lobang anus Adit yang sudah membuatnya hampir gila sejak memergoki pemuda itu sedang ganti baju di dalam bilik kloset sebulan lalu.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang