Bab 25

4.2K 146 12
                                    

Malam itu pikiran Adit benar-benar kacau balau, membuatnya jadi begadang karena terus kepikiran dengan nasib Pak Hendi. Bahkan sampai menolak ajakan bapak untuk latihan pentas drama karena suasana hati Adit benar-benar sedang tidak karuan malam itu.

Banyak kemungkinan buruk yang berjubelan di pikiran Adit, akan tetapi yang paling buruk dari semua kemungkinan itu adalah Pak Hendi bakalan dipecat dengan dalih sudah mencoreng nama baik sekolahan mereka.

Bukan karena Adit takut akan kehilangan guru olahraga itu, melainkan karena kasihan dengan istri dan janin dalam kandungan wanita itu kalau Pak Hendi benar-benar sampai dipecat nanti.

Karena baru tidur menjelang subuh, membuat Adit jadi bangun kesiangan pagi itu meski tidak sampai telat berangkat ke sekolah karena memilih tidak sarapan di rumah demi bisa mengejar sisa waktu yang hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum bel masuk kelas berdering.

Setelah saliman dengan bapak, Adit segera bergegas menuju ruang kelas dan spontan mengembus napas lega dengan seulas senyum bahagia begitu melihat sosok Pak Hendi yang baru turun dari jok motor di area parkiran sekolahan itu.

Refleks langkah kaki Adit segera membelok ke arah parkiran itu, akan tetapi urung menyapa begitu melihat Pak Hendi spontan menggeleng pelan ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, lantas segera masuk ke ruang guru tanpa sekali pun menoleh ke arah Adit yang masih bergeming di pinggir area parkiran khusus guru.

Meski sedikit sakit hati, akan tetapi Adit berusaha maklum dengan sikap waspada Pak Hendi mengingat kejadian buruk di gudang sekolahan kemarin. Jadi wajar kalau guru olahraga itu lebih memilih jaga jarak agar masalah kena pergok kemarin tidak semakin bertambah buruk.

Selama berada di kelas pagi itu, Adit sama sekali tidak menyimak materi pelajaran yang sedang dijelaskan guru di depan kelas karena terus kepikiran dengan alasan Pak Asman bisa pergi ke gudang sekolahan kemarin siang.

Rasanya mustahil sekali seorang kepala sekolah mau repot-repot pergi ke gudang sekolahan yang sudah lama tidak terjamah itu. Mana perginya pada waktu siang bolong pula.

Sempat kepikiran kalau Pak Asman pergi ke gudang sekolahan kemarin siang karena dapat laporan dari seseorang yang membuat beliau jadi berinisiatif untuk mengecek gudang itu dan ada dua nama yang langsung melintas di benak Adit ketika sedang memikirkan kemungkinan itu.

Yap kalau bukan Bu Widia, pasti Rudi yang sudah mengadu ke Pak Asman kalau ada dua sejoli yang sedang memadu kasih di gudang sekolahan kemarin siang.

Karena terlalu larut dalam lamunan, Adit jadi tidak sadar kalau bel istirahat makan siang sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu membuat pemuda itu jadi buru-buru pergi ke gudang sekolahan. Bahkan sampai lupa membawa kotak bekal dan botol minum yang biasa pemuda itu taruh di dalam tas gendongnya.

Namun hal itu tidak cukup penting bagi Adit karena pemuda itu benar-benar ingin segera bertemu dengan Pak Hendi dan bertanya mengenai apa yang sudah terjadi di ruang kepala sekolah sepulang sekolah kemarin.

Spontan Adit melenguh kecewa begitu tiba di gudang sekolahan tanpa sosok Pak Hendi yang sedang menunggu kedatangan pemuda itu di depan pintu gudang.

Mungkin lagi ada rapat guru sekarang, makanya Pak Hendi jadi telat datang ke gudang sekolahan, pikir Adit mencoba berpikiran positif sambil duduk di depan pintu gudang dengan punggung bersandar ke daun pintu sampai bel masuk kelas berdering, Pak Hendi masih juga belum datang.

Alih-alih marah karena sudah lama menunggu tanpa kepastian, akan tetapi Adit malah merasa semakin cemas atas kemangkiran guru olahraga itu. Bisa jadi Pak Hendi sengaja tidak datang ke gudang sekolahan sampai situasi kembali aman dulu, pikir Adit berusaha menekan rasa resah di relung hati.

Dengan tangan hampa, Adit kembali ke kelas dan tidak begitu kaget ketika mendengar pengumuman yang meminta pemuda itu agar segera datang ke ruang kepala sekolah selepas pulang sekolah nanti.

"Apa lagi yang udah kamu lakukan sampe kena teguran Pak Asman?" tanya Ahmad sambil menoleh ke arah Adit begitu pengumuman melalui speaker sekolah itu berakhir.

"Menurut kamu apa? Pak Asman mau kasih piala ke aku karena udah pecahin rekor sebagai murid yang paling sering telat masuk kelas sehabis jam istirahat makan siang?" sahut Adit sambil memutar bola mata.

"Yah sering telat masuk kelas karena udah ketagihan ngewe sama Pak Hendi di gudang sekolahan," sahut Ahmad sinis. "Jujur aja, sampe sekarang aku masih nggak percaya kalo badan semungil kamu bisa sekuat itu di ranjang."

Adit hendak membantah tuduhan itu, akan tetapi urung karena jauh di lubuk hati dia tahu kalau omongan Ahmad emang banar. Apalagi setelah Pak Hendi menyelamatkan pemuda itu yang hampir jadi korban pelecehan beberapa hari yang lalu.

Begitu bel pulang sekolah berdering, Adit segera pergi ke ruang kepala sekolah dengan segala pikiran buruk berjejalan di tempurung kepala yang semuanya bermuara di gudang sekolahan itu.

Yep, alasan panggilan Pak Asman sore itu pasti gara-gara masalah di gudang sekolahan kemarin siang dan hati Adit semakin gelisah begitu tiba di depan pintu kantor kepala sekolah.

"Masuk," titah sebuah suara dari balik pintu itu setelah Adit mengetuk pintu, lantas segera beranjak masuk dan tertegun begitu melihat sosok Pak Hendi yang duduk di depan meja Pak Asman sore itu.

"Silakan duduk," ucap Pak Asman dengan sebelah lengan terulur ke arah kursi kosong di sebelah Pak Hendi.

"Ja-jadi ada perlu apa bapak panggil saya kemari?" tanya Adit setelah duduk di kursi sebelah Pak Hendi yang tidak sekali pun menoleh sejak pemuda itu masuk ke ruangan itu.

"Bapak cuman mau dengar pendapat kamu soal hukuman yang pantas buat Pak Hendi," sahut Pak Asman sambil menatap Adit dengan seksama dan penuh perhatian membuat pemuda itu spontan tertegun karena tidak mengira bakalan ikut andil dalam pengambilan keputusan soal kelangsungan karir Pak Hendi sebagai guru di sekolahan itu.

"Hu-hukuman?" ulang Adit yang segera dibalas Pak Asman dengan anggukan cepat. "Me-menurut saya ... Pak Hendi sama sekali tidak bersalah karena kami melakukan itu atas dasar consent, bukan karena paksaan."

"Oke, jadi?"

"Ja-jadi saya harap ... bapak tidak akan memecat Pak Hendi hanya karena masalah ini," pinta Adit membuat Pak Asman spontan tertawa senang, alih-alih kecewa dengan pendapat pemuda itu yang malah membela sang pelaku pencabulan.

"Yah, tentu saja. Tapi dengan syarat kamu mesti mau bantu bapak agar bisa lebih dekat dengan papa kamu," sahut Pak Asman membuat Adit kembali tertegun begitu mendengar omongan sang kepala sekolah yang mendadak keluar dari topik bahasan mereka sore itu.

"Pa-papa ... saya?"

"Kalo kamu bersedia, bapak bakal kasih kesempatan ke Pak Henti agar tetap mengajar di sekolahan ini," tawar Pak Asman sambil mengangguk membuat Adit jadi bimbang. "Jadi gimana? Mau nggak?"

Refleks Adit melirik ke arah Pak Hendi yang spontan menggeleng pelan dan saat itu lah pemuda itu sadar maksud di balik gelengan Pak Hendi ketika mereka bertemu di parkiran sekolah tadi pagi.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang