Bab 19

5.8K 145 9
                                    

Sejak rutin ketemuan dengan Pak Hendi di gudang sekolahan, Adit jadi sering telat masuk kelas yang berimbas kena omelan guru yang kebagian jadwal mengajar di kelas Adit setelah jam istirahat makan siang.

"Dari mana saja kamu?" tanya Bu Widia yang siang itu kebetulan mengajar di kelas Adit begitu melihat sosok Adit yang baru masuk kelas selang sepuluh menit sejak bel masuk kelas berdering.

"Ma-maaf, Bu. Saya ketiduran di perpus sehabis makan siang. Jadi nggak denger dering bel masuk kelas tadi," bual Adit dengan napas masih tersengal-sengal karena lari ketika balik ke ruang kelas sehabis bercinta dengan Pak Hendi di gudang sekolahan pada waktu jam istirahat makan siang tadi.

"Omong kosong. Ketiduran kok tiap hari," sahut Bu Widia sinis akan alasan klasik andalan murid yang telat masuk kelas. "Kalo aja baru sekali ini kamu ketiduran di perpus, mungkin ibu bakalan percaya sama bualan kamu itu."

"Ta-tapi, Buk. Saya bene—"

"Jangan banyak alasan. Kamu pikir ibu nggak tahu sama kelakuan kamu yang sering telat masuk kelas itu?" tukas Bu Widia membuat Adit langsung bungkam. "Lagian udah banyak keluhan dari guru lain atas kelakuan suka telat kamu itu, tapi mereka nggak pernah kasih teguran karena kasihan sama kamu. Bukannya sadar, kebaikan hati mereka malah bikin kamu jadi tuman."

"Ayolah, Buk. Jangan galak begitu," bujuk Adit sambil memasang muka memelas. "Lagian saya cuman telat sepu—"

"Keluar," tukas Bu Widia lugas membuat mata Adit spontan mengerjap seakan tak percaya dengan apa yang barusan pemuda itu dengar.

"A-apa?"

"Silakan kamu tunggu di luar sampe ibu selesai mengajar di kelas ini," usir Bu Widia tanpa belas kasihan membuat mata Adit mendadak terasa panas. Pun dadanya terasa begitu sesak sampai membuat pemuda itu jadi susah bernapas.

Sadar sudah tak punya pilihan, Adit pun segera keluar kelas lantas duduk di kursi panjang yang ada di koridor depan kelasnya dengan kelopak mata mengerjap-ngerjap, meski tetap saja sebulir air mata tiba-tiba menetes dari pelupuk mata membuat tangan Adit refleks menyekanya dengan punggung tangan.

"Mata kamu kelilipan, Dit?" tanya sebuah suara ketika Adit sedang menggosok-gosok mata dengan harapan bisa mencegah linangan air mata yang terus mengucur dari pelupuk mata seperti keran bocor.

Tanpa menoleh pun, Adit sudah tahu siapa gerangan si pemilik suara yang selama sepekan ini membuat hatinya kesal tiap kali mendengar suara itu. Yap, siapa lagi kalau bukan guru olahraga cabul itu.

"Coba sini bapak tiupin mata kamu," ucap Pak Hendi sambil menangkup pipi Adit, kemudian menggeser kepala pemuda itu agar menghadap ke arahnya dan tertegun begitu melihat muka sembab Adit yang basah bersimbah air mata.

Entah kenapa darah Pak Hendi seketika menggelagak melihat sosok Adit siang itu yang tampak begitu rapuh. Andai saja mereka tak berada di ruang terbuka, sudah pasti Pak Hendi bakalan langsung merengkuh dan mendekap tubuh mungil itu.

Refleks Adit menepis tangkupan tangan Pak Hendi dari kedua pipi lantas beringsut mundur dari sisi guru olahraga itu yang duduk di sebelahnya.

"Kenapa nangis?" tanya Pak Hendi dengan suara sedikit menggeram membuat Adit spontan mendengus yang awalnya lelaki itu kira sebagai isakan.

"Kenapa?" ulang Adit sambil tertawa sinis. "Tentu aja karena saya nggak boleh mengikuti pelajaran sebab telat masuk kelas gara-gara kontol sialan bapak."

"Salah kamu sendiri makan kayak siput. Lelet betul," bantah Pak Hendi. "Kunyah sesuap nasi aja butuh waktu sampai tiga menit. Makanya kamu telat masuk kelas tadi."

"Omong kosong. Kalo aja bapak langsung berenti genjot kon—"

Ucapan Adit seketika berhenti begitu melihat seorang guru yang sedang berjalan ke arah mereka dari ujung koridor sebelah kanan, lantas merunduk ketika guru itu lewat di depan kelas Adit. Sementara Pak Hendi membalas senyuman guru itu dengan anggukan singkat.

"Jadi mau kamu gimana, hmm?" tanya Pak Hendi setelah guru itu sudah berada cukup dari posisi mereka.

"Bisakah bapak pergi sekarang?" pinta Adit dengan nada lelah. "Bukankah bapak sedang mengajar sekarang?"

"Oke, kalo emang itu mau kamu. Bapak bakal bicara sama Bu Widia agar bersikap lebih toleran kalo kamu telat masuk kelas ketika beliau lagi mengajar di kelas kamu pekan depan," ucap Pak Hendi sambil beranjak menuju lapangan sekolah membuat Adit urung bicara karena lelaki itu sudah keburu pergi.

Padahal Adit tidak mau membuat masalah itu jadi lebih runyam lagi dan entah kenapa perasaan Adit mendadak jadi enggak enak.

"Mau pinjam buku catatan biologi aku, nggak?" tawar Ahmad sambil mengulurkan buku tulis ke arah Adit yang baru saja duduk di kursi sebelahnya setelah pergantian jam pelajaran.

"Aku pinjam dulu, ya. Besok pagi bakal aku balikin ke kamu," sahut Adit seraya mengambil buku tulis itu dari uluran tangan Ahmad. "Makasih, Mad."

"Mata kamu kenapa? Kok kelihatan merah sama rada bengkak gitu?" tanya Ahmad begitu melihat mata teman sebangkunya membuat Adit spontan melengos.

"Cu-cuman kelilipan doang, kok."

"Nggak usah diambil hati. Bu Widia emang orangnya galak begitu. Mungkin gara-gara lagi pusing mikirin cicilan. Jadi bawaannya emosi mulu," seloroh Ahmad membuat Adit spontan tertawa. "Tapi omong-omong ... kamu makan siang di mana tadi?"

Gelak tawa Adit seketika lenyap begitu mendengar pertanyaan Ahmad. "Te-tentu aja aku makan siang di kelas tadi, trus lanjut pergi ke perpus karena nggak mau kelihatan kayak bocah ilang kalo duduk sendirian di dalam kelas."

"Boong. Kalo benar kamu makan siang di dalam kelas, trus kenapa kamu bawa kotak bekal dan botol minum kosong itu waktu kamu masuk tadi?" cecar Ahmad seraya mengedik dagu ke arah laci meja bangku di sisi kursi Adit.

"I-itu karena, uhmm ... mau aku cuci sehabis makan siang di kelas tadi," gumam Adit sembari mengangguk sambil memasang senyum paling polos, meski malah jadi kelihatan semakin mencurigakan di mata Ahmad.

"Di perpus nggak ada keran air, Dit," sahut Ahmad sambil geleng-geleng kepala begitu mendengar alasan konyol Adit.

"Ma-maksud aku, mau aku cuci sehabis dari perpus gitu," ralat Adit meski tahu hal itu percuma karena sadar kalau sejak awal dia sudah salah ambil langkah.

"Oke, kalo benar udah kamu cuci. Coba ambil kotak bekal itu," tantang Ahmad membuat Adit semakin gelagapan karena siang itu tidak sempat mencuci kotak bekal bekas makan siang tadi karena buru-buru masuk kelas, meski tetap saja telat sepuluh menit. Padahal biasanya Adit rutin mencuci kotak bekal sebelum balik ke kelas sehabis jam istirahat makan siang.

"Kenapa nggak kamu ambil kotak bekal di laci meja kamu?" tanya Ahmad ketika Adit tidak kunjung mengambil kotak bekal. "Biar aku tebak. Kamu pasti bakalan jawab lupa cuci kotak bekal itu karena buru-buru masuk kelas gara-gara ketiduran di perpus. Betul?"

Adit benar-benar bingung mesti jawab apa karena emang alasan itu lah yang melintas di benaknya siang itu.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang