Bab 24

4.6K 139 13
                                    

Sejak insiden kena tendangan di gudang sekolahan siang itu, Rudi dan kedua pengikut setianya sudah tidak berani menganggu Adit. Bahkan pamornya sebagai cowok berandalan di kelas mereka mendadak turun drastis gara-gara gigi depannya yang tanggal dan diam-diam, banyak murid cowok di kelas Adit yang kasih julukan ke Rudi dengan sebutan Oteng alias ompong tengah.

Selain itu, Bu Widia pun sudah tidak lagi mengomeli Adit ketika telat masuk kelas sehabis jam istirahat makan siang. Namun sikap cuek guru biologi itu malah semakin parah dan berujung dengan aksi tebang pilih tiap kali ada kuis dadakan di kelas Adit ketika beliau sedang mengajar.

Tak sekali pun Adit dapat kesempatan untuk jawab pertanyaan karena Bu Widia selalu menunjuk ke murid lain padahal Adit duluan yang angkat tangan. Awalnya Adit mengira kalau guru biologi itu mungkin saja tidak melihat acungan tangannya, akan tetapi setelah tiga kali kena pengabaian, baru lah Adit sadar kalau Bu Widia emang sengaja tidak memilihnya untuk jawab pertanyaan pada ujian lisan pagi itu.

"Emang enak dicuekin," ledek Ahmad sambil senyum geli ketika melihat sebelah tangan Adit kembali terlipat di atas meja dengan muka cemberut. "Jadi gimana rasanya jadi murid nggak dianggap, Dit? Sakit nggak?"

"Bodo amat," sahut Adit sok cuek meski dalam hati serasa ingin memaki.

Padahal selama ini, Adit sama sekali nggak pernah telat bayar SPP. Apalagi sampai menunggak berbulan-bulan, akan tetapi kenapa sikap Bu Widia mendadak berubah jadi kayak gini, sih? pikir Adit bingung bercampur heran karena biasanya guru biologi itu tidak pandang bulu dalam memperlakukan setiap anak didiknya.

Tak terasa bel istirahat makan siang tiba-tiba berdering dan Adit pun segera keluar bareng teman sekelasnya yang lain, akan tetapi beda tujuan dengan mereka yang kebanyakan pada pergi ke kantin.

Setiba di gudang sekolahan, Adit segera makan bekal yang dia bawa dari rumah sementara Pak Hendi lebih memilih merokok di luar sampai pemuda itu selesai makan siang.

Meski Adit selalu menawari tiap kali hendak makan, akan tetapi Pak Hendi selalu menolak dengan alasan yang sama, takut Adit tidak kenyang kalau bekal itu mereka makan berdua.

"Jadi apa yang udah bapak lakukan ke Buk Widia?" tanya Adit penasaran setelah bercerita soal perubahan sikap guru biologi itu selagi mereka bersenggama siang itu di atas matras bekas dengan posisi Adit berada di bawah tindihan badan gempal Pak Hendi yang dengan beringas menggempur lobang anusnya.

"Cuman bapak ajak diskusi santai aja rabu kemarin," sahut Pak Hendi sambil terus menggenjot kontol keluar-masuk lobang anus Adit yang masih saja terasa sempit padahal sudah hampir sebulan mereka rutin bercinta di gudang sekolahan itu.

"Lagian bukankah malah bagus kalo Buk Widia tidak lagi menegur kamu? Jadi kamu nggak perlu merasa khawatir bakalan telat masuk kelas ketika lagi ngewe sama bapak di gudang ini," sambung Pak Hendi sembari mengecup sekilas bibir Adit ketika hendak membuka mulut.

Meski tahu Pak Hendi masih menyembunyikan sesuatu sehubungan dengan perubahan sikap Bu Widia, akan tetapi Adit memilih agar tidak terlalu dalam mengorek informasi itu karena Pak Hendi kelihatan enggan memberikan penjelasan secara jujur dan menyeluruh.

Jadi Adit berusaha bersikap bijak dengan tidak mengungkit masalah itu lebih jauh. Kendati merasa tenang, hati Adit malah menjadi semakin was-was seakan ada sesuatu yang buruk akan segera terjadi, akan tetapi pemuda itu tidak tahu betul hal buruk macam apa itu.

Jantung Adit serasa berhenti berdetak selama beberapa detik begitu ekor matanya menangkap siluet bayangan dari balik kaca jendela kecil di bagian atas tembok sebelah pintu gudang yang tampak sedikit buram karena lapisan debu tebal serta noda lumpur kering yang entah bagaimana bisa menempel di sana.

"Kenapa?" tanya Pak Hendi sembari menjeda genjotan kontol begitu melihat wajah Adit yang mendadak bengong dengan mata sedikit melotot. "Apa sikap cuek Buk Widia masih mengusik pikiran kamu?"

"Ng-nggak kok," sahut Adit dengan kedua mata spontan mengerjap-ngerjap cepat, lantas mengembus napas lega begitu siluet bayangan di balik kaca jendela kecil itu mendadak lenyap bagai kepulan asap hitam yang kena embusan angin kencang.

"Trus kenapa bengong tadi?" tanya Pak Hendi masih menatap lekat ke mata legam Adit yang berusaha menyembunyikan perasaan gusar dalam hatinya. Pasti cuman salah lihat aja tadi, pikir Adit mencoba tetap berpikir positif.

"A-adit pikir, Adit sempat ngelihat sesuatu di balik ...," gumam Adit sembari melirik ke arah kaca jendela kecil dan spontan mengumpat pelan begitu kembali melihat siluet bayangan itu membuat Pak Hendi refleks ikutan menoleh ke arah kaca jendela yang tampak buram itu.

Sesaat Adit mengira siluet bayangan itu merupakan bagian dari imajinasinya gara-gara sedang banyak pikiran siang itu, akan tetapi begitu melihat raut kaget di muka Pak Hendi yang menatap sosok misterius di balik kaca jendela kecil itu dengan mata agak melotot, saat itu lah Adit sadar kalau sosok misterius itu benar-benar nyata bukan sekadar khayalan belaka.

Keheningan yang terasa mencekam itu mendadak pecah begitu terdengar bunyi gedoran keras dari balik pintu gudang yang sempat Pak Hendi kunci sebelum mereka mulai bercinta di dalam gudang itu.

Sesaat Pak Hendi dan Adit hanya bergeming di atas matras dengan kontol lelaki itu masih menancap di lobang anus Adit sembari saling menatap dengan raut bimbang, sebelum akhirnya Pak Hendi mencabut kontol dan segera membuka pintu gudang setelah memakai celana.

"Siapa tadi yang lagi bareng bapak di dalam?" tanya sebuah suara yang kedengaran begitu familier di telinga Adit karena sering dia dengar suara itu ketika sedang berpidato pada waktu upacara bendera setiap hari senin alias Pak Asman yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolahan Adit. "Suruh dia keluar sekarang."

Tanpa menunggu panggilan Pak Hendi, Adit langsung keluar dari gudang itu setelah memakai celana serta memasang setiap kancing baju seragam sekolahnya.

"Oh ... jadi begini kelakuan kalian kalo lagi istirahat di dalam gudang?" ucap Pak Asman kecewa sekaligus tak percaya. "Pantesan tiga pekan belakangan ini Pak Hendi selalu pinjam kunci gudang tiap jam istirahat makan siang."

"Saya mengaku bersalah, Pak. Jadi saya mohon jangan seret Adit dalam masalah ini," pinta Pak Hendi penuh tanggung jawab. "Biar saya saja yang menanggung segala hukuman atas kelakuan bejat kami di gudang sekolahan siang ini."

"Oke, kalo begitu segera datang ke ruangan saya sepulang sekolah nanti dan kamu," balas Pak Asman sambil menoleh ke arah Adit yang berdiri di sebelah Pak Hendi dengan kepala merunduk. "Buruan balik ke ruang kelas sekarang."

"Ba-baik, Pak," ucap Adit sambil bergegas menuju ruang kelas dan sebelum pergi tadi, Adit sempat menengok ke arah Pak Hendi dan sekilas melihat seulas senyum lemah di sudut bibir lelaki itu dengan raut pasrah seakan siang itu akan menjadi hari terakhir mereka bertemu di gudang sekolahan itu.

Dan sepanjang sisa siang itu, perasaan Adit benar-benar campur aduk antara sedih, marah, bingung sekaligus tak berdaya membayangkan nasib buruk macam apa yang akan menimpa Pak Hendi setelah terpergok Pak Asman sedang berbuat mesum di gudang sekolahan tadi.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang