Bab 20

5.7K 150 2
                                    

"Jadi di mana?" tanya Ahmad membuat kepala Adit refleks berjengit mundur begitu cowok itu mencondongkan badan kelewat dekat ke arah Adit.

"Ta-tadi aku makan siang di ...," gumam Adit sambil melirik ke sekitar sebelum lanjut bicara begitu yakin tak ada seorang pun yang memperhatikan mereka. " ... gudang lama sekolahan kita."

"Maksud kamu gudang lama yang ada di belakang gedung sekolahan kita?" tanya Ahmad yang segera dibalas anggukan kepala Adit. "Trus kamu di sana bareng siapa?"

"A-aku makan siang sendirian di sana."

"Mau sampe kapan kamu bohong, Dit?" tanya Ahmad sembari melenguh napas lelah dengan segala kebohongan Adit. "Gimana kamu bisa masuk ke gudang itu kalo pintu dan jendelanya aja dikunci dari dalam?"

Bisa saja Adit bilang sudah mecahin kaca jendela gudang itu, tapi urung begitu sadar kalau Ahmad pasti tidak akan percaya. Selain karena posisi jendela yang setinggi dada orang dewasa, ukuran jendela itu pun cukup sempit.

Jadi sangat mustahil bagi Adit bisa menyelinap masuk ke dalam gudang itu kalau lewat jendela. Pun Ahmad tahu kalau Adit tidak masuk dalam golongan cowok pemanjat ulung di sekolahan mereka.

"Jadi ... siapa dia?" tanya Ahmad sambil menatap lekat ke mata Adit membuat pemuda itu mendadak menjadi risih.

"Oke, aku bakal kasih tahu kalo kamu janji nggak bakalan bilang siapa-siapa kalo aku sering makan siang di gudang lama sekolahan kita," sahut Adit membuat Ahmad spontan mengangguk.

"Rahasia kamu bakalan aman sama aku. Jadi kamu makan siang di gudang bareng siapa tadi?"

"Pak Hendi," jawab Adit jujur membuat raut muka Ahmad yang semula tampak penasaran mendadak jadi kelihatan kaget seakan ada sepasang tanduk yang baru tumbuh di jidat Adit.

"Kamu bilang ... apa tadi?"

"Aku makan siang bareng Pak Hendi di gudang tadi," sahut Adit sambil memutar bola mata. Sudah lama Adit tahu kalau Pak Hendi merupakan sosok guru yang menjadi panutan Ahmad.

Jadi wajar kalau Ahmad sampai kaget dan tak percaya guru idolanya itu ternyata belok karena dari tampang dan perawakan lelaki itu sama sekali tak ada indikasi kalau beliau rupanya seorang penyuka sesama.

"Trus?" tanya Ahmad tak sabaran.

"Abis makan siang di gudang, aku langsung balik ke kelas," sahut Adit enggan kasih jawaban secara terperinci soal aktivitas apa saja yang sudah dia lakukan selama berada di gudang bareng Pak Hendi tadi siang.

"Nggak mungkin kamu bisa sampe telat masuk kelas kalo cuman makan doang di gudang bareng Pak Hendi," balas Ahmad kurang puas dengan jawaban singkat Adit. "Jadi apa yang udah kalian lakukan di sana selama jam istirahat makan siang?"

"Ayolah, Mad. Kamu bukan bocil yang nggak tahu soal masalah begituan," sahut Adit malas memberikan penjelasan panjang lebar. "Dan aku tahu betul kalo kamu bukan cowok sepolos itu. Jadi berenti lah belagak bego di depan aku, oke?"

"Pantesan belakangan ini kamu jadi sering telat masuk kelas sehabis jam istirahat makan siang," sahut Ahmad membuat muka Adit sontak merengut akan makna di balik omongan cowok itu yang kedengaran seakan Adit itu cowok murahan yang senang obral lobang. "Aku masih nggak percaya kalo ternyata selera cowok idaman kamu rupanya lelaki bangkotan macem Pak Hendi."

"Jangan salah paham, oke?" ucap Adit tidak terima dengan tuduhan terselubung Ahmad. Meski emang betul kalau Adit lebih demen dengan lelaki dewasa yang sudah kawin dan memiliki anak ketimbang cowok berondongan yang masih labil dan gampang emosian, tapi bukan itu inti dari perdebatan mereka sekarang. "Aku nggak punya pilihan, Mad. Kalo aku menolak melakukan itu, aib aku bakalan kesebar nanti."

"Omong kosong. Kamu mau melakukan itu karena udah telanjur ketagihan sama genjotan kontol Pak Hendi, kan?" tuduh Ahmad membuat tangan Adit mendadak jadi gemetaran. Kalau saja mereka sedang tidak berada di ruang kelas, Adit pasti bakalan langsung gampar pipi cowok kurang ajar itu. "Buktinya sampe sekarang, kamu masih rutin datang ke gudang itu tiap jam istirahat makan si—"

Ucapan Ahmad seketika berhenti begitu melihat sebulir air menetes dari pelupuk mata Adit, lantas mengalir turun di sepanjang pipi putih mulus pemuda itu.

"Dit, kamu ... nggak apa?" tanya Ahmad dengan raut cemas sambil mengulurkan sebelah tangan ke arah pipi Adit, akan tetapi segera kena tepisan tangan Adit sebelum sempat menyeka jejak basah di pipi pemuda itu.

Tak berselang lama, tetesan air mata itu segera mengalir semakin deras di pipi Adit membuatnya langsung beranjak keluar karena tidak mau menjadi bahan tontonan teman sekelas, sementara Ahmad hanya mampu menatap kepergian pemuda itu dengan raut bingung sekaligus cemas.

Apa aku udah salah omong tadi? batin Ahmad penuh rasa bersalah dan sepanjang sisa siang itu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Adit maupun Ahmad yang lebih memilih menunggu Adit bicara duluan karena tak mau membuat pemuda itu menangis lagi.

Meski siang itu bukan kali pertama mereka bersilang pendapat, akan tetapi siang itu adalah kali pertama perselisihan mereka berakhir dengan tangisan Adit.

"Dit, tunggu. Ada sesuatu yang pengin aku omongin sama kamu," panggil Ahmad seraya berlari mengejar Adit yang sudah duluan keluar kelas begitu bel pulang sekolah berdering.

"Sori buat yang tadi," ucap Ahmad penuh sesal begitu tiba di sebelah Adit. "Aku sama sekali nggak ada maksud—"

"Udah cukup," tukas Adit dengan nada lelah dan muak sambil mengangkat kedua tangan membuat Ahmad seketika bungkam. "Aku nggak mau dengar ceramah apa pun dari cowok brengsek yang hobi sewa lonte sama nonton bokep kalo lagi di rumah."

"Tapi sebagai sahabat kamu, aku punya hak buat kasih nasihat biar kamu nggak salah pilih jalan."

"Kayak jalan hidup kamu udah benar aja," sahut Adit sinis. "Lagian mau aku pilih jalan yang penuh lobang kek, itu bukan urusan kamu. Jadi simpan aja nasihat nggak guna kamu itu."

"Apa kamu tahu kalo bini Pak Hendi lagi hamil sekarang?" tanya Ahmad membuat langkah Adit mendadak berhenti, lantas memutar badan menghadap ke arah Ahmad yang berdiri tiga langkah di belakang pemuda itu.

"Kamu bilang apa tadi?" tanya Adit dengan kepala sedikit meneleng ke sisi kiri. "Istri Pak Hendi ... hamil?"

"Udah jalan empat bulan sekarang," sahut Ahmad sembari mengangguk serta berusaha mengulum senyum melihat Adit tampak menaruh minat dengan topik obrolan mereka kali ini. "Jadi sekarang kamu udah tahu kan, alasan Pak Hendi mau melakukan itu sama kamu?"

"Karena istri beliau lagi hamil?" tebak Adit membuat Ahmad spontan tepok jidat sambil menggerutu dalam hati akan perubahan daya tangkap Adit yang kini jadi lemot. Rupanya emang betul teori yang bilang kalau orang sudah bucin, bakalan langsung jadi tolol mendadak.

"Lebih tepatnya, Pak Hendi butuh lobang kamu sebagai pelampiasan nafsu karena nggak dapat jatah di rumah," ralat Ahmad membuat Adit refleks menggeleng.

"Omong kosong macam apa itu? Kalo Pak Hendi cuman butuh lobang, kenapa nggak sewa lonte aja?" bantah Adit masih enggan menerima fakta, padahal sudah tampak begitu jelas di depan mata.

"Kenapa mesti bayar kalo bisa dapat lobang gratisan di gudang sekolahan?" tanya Ahmad balik membuat pondasi benteng Adit yang sejak awal emang sudah goyah, seketika runtuh begitu mendengar omongan sahabat masa kecilnya itu.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang