Bab 14

8.1K 147 8
                                    

Untung saja Adit sempat pindah ke kamarnya sendiri sebelum melanjutkan tidur malam itu. Meski lebih nyaman meringkuk dalam pelukan hangat sang ayah daripada bergelung dalam balutan selimut tebal dan baru terbangun begitu mendengar bunyi kelotakan dari arah dapur.

Refleks sebelah tangan Adit menyambar ponsel yang tergeletak di meja nakas dan matanya yang semula masih setengah merem, seketika langsung melek begitu melihat jam digital di layar ponsel itu.

Alamak, udah jam tujuh kurang sepuluh menit. Cepat betul. Perasaan Adit baru merem bentaran doang setelah pindah ke kamarnya sendiri subuh tadi.

Dengan langkah tergesa, Adit segera pergi ke toilet dapur dan jantungnya hampir copot begitu melihat sang ibu sedang memasak entah apa di depan kompor.

"Ma-mama?" panggil Adit membuat sang ibu spontan menoleh, lantas menatap anak lelakinya dengan kening mengerut.

"Kenapa kamu pake daster mama, Dit?" tanya Bu Nurul membuat Adit seketika jadi gelagapan begitu sadar kalau belum sempat ganti daster ibunya yang dia pakai semalam ketika sedang bersenggama dengan sang ayah.

Kalau boleh memilih, tentu Adit bakal memilih telanjang bulat ketimbang terpergok sang ibu sedang memakai daster seperti pagi itu.

"Apa semalam kamu habis latihan jadi emak-emak dasteran buat pentas drama di sekolahan?" tanya Bu Nurul sambil tersenyum geli, alih-alih curiga ketika melihat anak lelaki dalam balutan salah satu daster rumahannya.

"Be-betul, Ma. Semalam Adit latihan sampai larut malam," bual Adit lebih memilih mengikuti alur pemikiran sang ibu ketimbang mencari alasan lain yang lebih masuk akal. Lagipula, otaknya pagi itu benar-benar sedang buntu.

"Pantesan mama panggilin dari tadi nggak bangun-bangun," kata Bu Nurul sambil berkacak pinggang mencoba mengamati penampilan anak lelakinya dengan lebih cermat. "Tapi kalo dilihat-lihat, wajah kamu emang lebih cocok jadi emak-emak dasteran kalo aja ada sumpalan kaos kaki di dada kamu yang rata kayak papan setrikaan itu dan gelungan rambut palsu di kepala kamu."

"Kalo bukan karena lagi kekurangan pemain, mana mau Adit ambil peran jadi emak-emak dasteran, Ma," bantah Adit dengan pipi merona begitu mendengar ledekan sang ibu, tapi Adit tidak akan menolak kalau disuruh bertukar peran dengan ibunya karena bisa bebas bercinta dengan sang ayah tiap malam.

"Yaudah, buruan mandi gih. Udah mau jam tujuh tuh," suruh Bu Nurul sambil geleng-geleng kepala melihat wajah cemberut anak lelakinya yang malah kelihatan tambah lucu dan imut.

Andai kata, Adit lahir sebagai anak perempuan sudah pasti Bu Nurul akan membeli segala aksesori yang bisa lebih menonjolkan kesan lucu dan imut itu. Namun sayang, Adit lahir sebagai anak laki-laki. Jadi Bu Nurul harus menahan keinginan untuk mendadani Adit dengan aneka macam aksesori yang lucu dan imut.

Karena tidak mau tambah malu kalau sampai terpergok sang ayah dalam balutan daster, Adit segera masuk ke toilet sambil memaki diri sendiri karena sudah bertindak ceroboh pagi itu.

Untung saja sang ibu tidak sampai curiga tadi, tapi perasaan lega itu belum cukup untuk meredam rasa malunya dan spontan lamunan Adit buyar begitu mendengar gedoran dari balik pintu toilet.

"Dit, buruan. Lama betul di dalam," ucap Pak Bondan di antara bunyi gedoran pintu. "Papa bisa telat masuk kantor kalo kamu nggak segera keluar."

"Sabar, Pa. Adit lagi sabunan nih."

"Duh, emang kalian habis ngapain sih semalam? Kok bisa gitu barengan telat bangun pagi?" tanya Bu Nurul bikin Adit langsung merasa was-was karena takut kalo penyamarannya semalam bakalan terbongkar. "Jangan bilang kalo semalam papa ikut latihan bareng Adit sampai larut malam."

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang