Bab 21

5.2K 165 16
                                    

Selama perjalanan pulang ke rumah, Adit terus kepikiran dengan omongan Ahmad. Apa betul kalo Pak Hendi anggap aku cuman sebagai pemuas nafsu beliau aja? batin Adit galau. Tapi kenapa harus aku? Padahal masih banyak gadis di sekolahan yang pasti bakalan mau kalau jadi selingkuhan Pak Hendi.

Setiba di rumah, Adit langsung pergi mandi lantas mengurung diri di kamar sampai sang ibu memanggilnya pada waktu makan malam.

"Kenapa muka kamu lesu begitu?" tanya Bu Nurul ketika melihat anak lelakinya hanya mengaduk-aduk nasi dengan lauk ikan lele goreng di piring makan dengan malas. "Jangan bilang kalo kamu nggak suka lele goreng yang udah mama masak tadi sore."

"Suka kok, Ma."

"Trus kenapa nggak kamu makan itu lele? Malah masih utuh begitu," ucap Bu Nurul seraya mengedik dagu ke arah piring makan anak lelakinya.

"Adit cuman lagi banyak pikiran, Ma. Jadi rada kurang nafsu makan aja malam ini," sahut Adit sembari mencuil sedikit daging ikan lele goreng lantas menyuapkan ke mulut dan mengunyahnya tanpa selera.

"Kalo ada masalah, cerita aja ke mama. Jangan kamu pendam sendiri, bisa stres kamu nanti," nasihat Bu Nurul sambil menatap anak lelakinya yang duduk di seberang meja makan dengan penuh perhatian.

Sesaat Adit hendak buka mulut, akan tetapi urung karena pemuda itu belum siap menerima konsekuensi kalau nekat buka aib malam itu. Apalagi aib itu merupakan ujung simpul dari serentetan aib yang selama ini tersimpan dalam hati Adit.

Jadi sekali buka aib, pasti bakalan langsung merembet dan tidak akan berhenti sebelum sampai di sisi lain dari ujung simpul yang merupakan awal mula dari segala aib yang selama ini Adit coba kubur dalam-dalam.

"Cuman masalah sepele kok, Ma. Jadi nggak usah cemas, oke?"

"Masalah sepele apaan sampe bikin kamu nggak nafsu makan begitu," bantah Bu Nurul sambil mencondongkan badan ke sisi seberang meja makan. "Biar mama tebak. Pasti gara-gara banyak teman sekelas kamu yang kebagian peran penting malah lebih sering bolos ketimbang ikut latihan buat persiapan pentas drama di sekolahan. Betul?"

"Pentas ... apaan tadi, Ma?" tanya Pak Bondan yang semula tampak cuek mendadak jadi tertarik dengan topik obrolan makan malam mereka malam itu.

"Pentas drama, Pa. Nanti kita nonton bareng ya, Pa. Mama beneran pengin lihat anak lelaki kita ketika lagi tampil di atas panggung," sahut Bu Nurul penuh semangat.

"Emang mau tampil kapan, Dit?" tanya Pak Bondan sembari menoleh ke arah Adit yang spontan memutar bola mata.

"Acara pentas drama itu nggak dibuka untuk umum, Pa. Jadi cuman kalangan guru dan murid di sekolahan Adit aja yang bisa nonton," bual Adit membuat sang ibu spontan melenguh kecewa.

"Yaudah gimana kalo kamu tampil malam ini aja?" usul Bu Nurul dengan binar semangat kembali bersinar di mata wanita itu.

"A-apa?" ucap Adit tercengang dengan gagasan spontan sang ibu. "Tampil di rumah malam ini?"

"Yap, begitulah. Jadi mama bisa sekalian kasih kritik dan saran kalo akting kamu masih ada yang kurang," sahut Bu Nurul sembari menatap Adit penuh harap.

"Ma-malu Adit, Ma."

"Kok malu sih? Toh cuman mama dan papa aja yang nonton," balas Bu Nurul dengan muka merengut. "Lagian gimana bisa tampil dengan sempurna di depan banyak orang kalo suruh tampil di rumah aja nyali kamu udah ciut duluan?"

Kalau boleh memilih, Adit pasti bakalan langsung memilih lari bugil keliling komplek perumahan mereka malam itu daripada mesti memakai daster sang ibu di depan bapak.

"Emang Adit kebagian peran apa, Ma?" tanya Bondan kembali menoleh ke arah sang istri yang langsung membisikan sesuatu ke telinga lelaki itu.

Pipi Adit semakin merona seiring rekahan senyum geli yang makin melebar di sudut bibir sang ayah sembari menatap pemuda itu dengan tatapan tak percaya.

Huh, dasar ember. Padahal udah janji nggak bakal bilang ke papa soal pentas drama bohongan ini, maki Adit dalam hati melihat sang ibu sudah ingkar janji.

"Beneran kamu dapat peran jadi emak-emak dasteran, Dit?" tanya Pak Bondan dengan senyum geli masih terulas di bibir membuat Adit refleks merunduk setelah kasih satu anggukan cepat.

"A-abisan nggak ada satu pun anak gadis di kelas Adit yang mau ambil peran itu. Jadi mereka lempar ke Adit, Pa."

"Trus kenapa kamu masih malu begitu? Toh mereka udah tahu kalo kamu ambil peran itu bukan atas keinginan kamu, melainkan demi kebaikan teman sekelas kamu agar pentas drama kalian bisa berjalan dengan lancar."

Berhubung sudah tak tahan dengan desakan sang ibu, Adit pun setuju mau tampil di rumah malam itu dengan syarat tidak boleh ada yang tertawa selama pentas drama sedang berlangsung.

"Oke, mama janji nggak bakal ketawa. Jadi buruan ambil baju daster di kamar mama. Mama beneran udah nggak sabar pengin segera lihat pentas drama kamu," suruh Bu Nurul membuat Adit dengan ogah-ogahan beranjak dari meja makan dan tak lama kemudian, pemuda itu balik ke dapur dalam balutan salah satu baju daster sang ibu.

"Oke, sekarang giliran papa tampil ke depan," ucap Bu Nurul membuat sang suami spontan menoleh ke arah wanita itu dengan raut bingung.

"Lha .. ngapain papa mesti ikutan tampil dalam pentas drama malam ini, Ma?"

Apa betul tampang aku sejelek itu sampe papa aja ogah jadi lawan main aku? ratap Adit dalam hati begitu melihat reaksi penolakan sang ayah malam itu.

"Biar tambah seru lah, Pa. Lagian kalo nggak ada lawan main bukan pentas drama namanya, tapi senandika," sahut Bu Nurul sambil menarik kedua lengan sang suami agar lekas bangun dari kursi.

"Oke, jadi papa dapat peran apa malam ini?" tanya Pak Bondan begitu berdiri di sebelah Adit yang masih bergeming di depan pintu toilet dapur. "Biar papa bisa ganti baju dulu sebelom mulai bergabung dalam pentas drama kamu ma—"

Ucapan Pak Bondan seketika berhenti begitu sebelah pipi lelaki itu kena gamparan tangan Adit. Sesaat Pak Bondan tampak kaget sekaligus bingung sebelum sadar kalau gamparan itu merupakan bagian dari pentas drama yang sedang mereka mainkan malam itu begitu mendengar bisikan dari sang istri yang kini sudah kembali duduk di meja makan seraya menonton mereka dengan penuh minat.

Dan malam itu, Adit merasa sedikit lega karena sudah bisa melampiaskan rasa kesal dan galaunya ke bapak selama pentas drama berlangsung yang berakhir dengan sorakan serta tepuk tangan sang ibu yang juga meminta sebuah ciuman sebagai adegan penutup.

Sesaat Adit dan Pak Bondan hanya berdiri saling menatap dengan canggung dan ketika Adit hendak beranjak pergi, tiba-tiba Pak Bondan mencekal lengan dan memutar badan pemuda itu hingga kembali menghadap ke depan sebelum lelaki itu melumat bibir Adit dalam satu ciuman panas.

Jantung Adit masih berdebar kencang di antara bunyi suitan dan tepukan tangan sang ibu yang semakin gaduh begitu ciuman panas itu berakhir dengan perasaan bersalah karena sudah menipu kedua orang tuanya.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang