Bab 26

4K 116 19
                                    

"Kenapa?" tanya Adit bingung dan sesaat sempat kepikiran kalau Pak Asman hanya sedang bercanda, akan tetapi Adit segera membuang pemikiran konyol itu begitu melihat raut muka sang kepala sekolah yang tampak serius.

"Bukankah udah jelas alasan bapak minta bantuan kamu sore ini?"

"Ma-maksud saya, bagaimana bisa?" ralat Adit karena seingat dia, bapak belum pernah sekali pun datang ke sekolahan. Entah itu pada waktu pengambilan rapor maupun ketika ada acara kumpul-kumpul bagi setiap wali murid yang anaknya bersekolah di sana. "Emang bapak pernah bertemu dengan papa saya di mana?"

"Waah ... bakalan panjang kalau mesti bapak ceritakan semua dari awal. Pada intinya sih, udah cukup lama bapak jatuh cinta dengan papa kamu, tapi nggak pernah ada kesempatan bagi kami agar bisa kembali bertemu," sahut Pak Asman dengan raut sedih. "Tapi siapa sangka kalau kesempatan itu bakalan datang lewat kamu."

"Sa-saya?"

"Yap, kamu yang akan jadi perantara bagi kami agar bisa kembali bertemu," sahut Pak Asman seraya meraih sebelah tangan Adit yang terlipat di atas meja lantas mengenggam punggung tangan itu sembari menatap pemuda itu dengan penuh harap.

"Ta-tapi bagaimana cara bujuk papa agar mau bertemu dengan bapak?" tanya Adit seraya menarik lepas punggung tangan dari genggaman tangan Pak Asman yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Entah kenapa di balik sikap lembut Pak Asman, ada sesuatu yang membuat Adit seketika merasa takut. Mungkin karena selama ini Adit mengenal sosok Pak Asman sebagai kepala sekolah yang penuh wibawa dan tegas dalam bersikap, jadi kelihatan agak aneh melihat sisi lain dari lelaki berumur itu yang kini tampak begitu lemah dan putus asa di depan matanya.

"Cukup kamu berikan surat panggilan ini ke papa kamu," sahut Pak Asman sembari menyorongkan sepucuk surat ke arah Adit yang menatap bingung lantas menoleh ke arah Pak Hendi yang spontan mengedik bahu.

"Kenapa mesti pakai surat panggilan segala?"

"Tentu saja karena papa kamu nggak bakalan mau datang ke sekolahan kalau bukan karena situasi darurat yang mungkin bakal kasih pengaruh buruk ke masa depan kamu," jelas Pak Asman membuat Adit spontan mengangguk paham.

"Jadi maksud bapak, bapak berencana memakai hubungan gelap saya dengan Pak Hendi sebagai ancaman kalau papa menolak bertemu bapak setelah menerima surat panggilan itu?"

"Apa tampang bapak kelihatan seculas itu?" tanya Pak Asman sembari bersandar ke punggung kursi berodanya. "Lagipula sejak awal tujuan kita emang udah beda, tapi masih bisa ditempuh lewat jalan yang sama."

"Oke, jadi saya hanya perlu kasih surat panggilan itu ke beliau?"

"Yap dan sisanya biar bapak yang urus," sahut Pak Asman dengan seulas senyum miring tersemat di sudut bibir yang entah kenapa membuat Adit tiba-tiba merasa kesal.

"Tapi saya pikir, papa nggak bakalan mau datang ke sekolahan karena mesti berangkat kerja besok," celetuk Adit dengan harapan Pak Asman akan mengundur waktu pertemuan itu karena merasa sudah salah ambil langkah dan butuh tambahan waktu agar bisa menimbang ulang setiap keputusan yang sudah dia pilih dengan buru-buru sore itu.

Alih-alih merasa kecewa, Pak Asman malah kelihatan senang mendengar kabar itu.

"Kalau begitu suruh saja papa kamu langsung mampir ke sekolahan sehabis pulang dari kantor besok sore," balas Pak Asman tanpa ragu. "Lagipula bapak malah lebih suka kalau papa kamu datang kemari dengan badan masih keringetan. Pasti bakalan enak banget kalau bapak endus ketek papa kamu nanti."

Sebagai sesama boti, tentu saja Adit tidak dapat menampik kebenaran di balik omongan Pak Asman barusan karena pemuda itu juga masih rutin mengendus kemeja kotor maupun kancut bekas pakai sang ayah yang sudah jadi ritual wajib sebelum mandi sore.

Meski tetap saja, gestur dan gaya bicara sang kepala sekolah sore itu membuat Adit merasa risih dan juga agak geli karena masih tidak percaya kalau Pak Asman bisa bersikap secentil itu yang sama sekali tidak cocok dengan perawakan badan beliau yang gempal dan rada berotot.

Setelah mengambil surat panggilan itu, Adit dan Pak Hendi segera beranjak keluar setelah pamitan dengan Pak Asman yang tampak masih tenggelam dalam lamunan mesumnya.

"Kenapa nggak langsung kamu tolak aja tadi?" tanya Pak Hendi begitu mereka keluar dari kantor kepala sekolah sore itu.

"Aku cuman berusaha membantu, oke?"

"Membantu?" ulang Pak Hendi sambil mendengus sinis. "Emang kapan bapak minta bantuan ke pahlawan kesiangan yang malah bikin masalah ini jadi tambah runyam."

"Begitukah cara bapak bilang makasih ke orang yang udah menolong bapak barusan?" tanya Adit agak sakit hati dengan omongan Pak Hendi yang seakan malah menyalahkan pemuda itu.

"Masalah ini nggak bakalan jadi tambah buruk kalo sejak awal kamu langsung tolak tawaran dari kepala sekolah yang culas dan mesum itu."

"Tentu aja nggak aku tolak karena aku kasihan sama istri dan calon anak bapak kelak kalo sampai bapak dipecat jadi guru di sekolahan ini," jelas Adit mencoba membela diri dari segala tuduhan buruk Pak Hendi, meski jauh di lubuk hati dia tahu kalau omongan lelaki itu emang benar.

"Omong kosong. Kalo emang beneran kasihan sama bini dan calon anak bapak, kamu pasti bakalan menolak waktu pertama kali bapak ajak ngewe di gudang sekolahan," bantah Pak Hendi yang serasa bagai tamparan keras di pipi Adit sampai tidak bisa berkata-kata karena tidak menyangka kalau Pak Hendi bisa bicara sekejam itu.

Sebelum Adit sempat bicara, Pak Hendi sudah duluan pergi ke parkiran motor lantas segera melajukan motor keluar dari parkiran tanpa menoleh ke arah Adit yang masih berdiri di pinggir area parkiran dengan perasaan berang.

"Tumben baru balik sesore ini? Apa karena ada jam pelajaran tambahan di sekolahan hari ini?" tanya Bu Nurul begitu melihat anak lelakinya yang baru sampai di rumah pada pukul setengah enam lewat dikit. Padahal biasanya anak itu sudah sampai di rumah sebelum pukul lima sore.

"Nggak ada, Ma."

"Trus kenapa bisa pulang telat sore ini?" cecar Bu Nurul sambil menatap anak lelakinya yang berdiri di depan wanita itu dengan bahu sedikit merosot lesu dan sorot mata yang kelihatan sayu.

"Papa udah pulang belom, Ma?"

"Lagi mandi noh," sahut Bu Nurul sambil mengedik dagu ke arah pintu toilet dapur yang tertutup rapat meredam bunyi gemericik air keran yang berasal dari balik pintu itu."Emang ada masalah apaan? Tumben betul baru balik sekolah langsung sibuk cari papa."

"Adit cerita nanti aja sekalian makan malam," sahut Adit sembari mengedik bahu lantas segera masuk ke kamar dan langsung rebahan ke ranjang dengan muka terbenam ke punggung bantal demi meredam isakan yang spontan meledak.

Bersambung ...

Ayahku Pejantanku [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang