7. Great Barrier

166 27 4
                                    

VALDI POV

"Ma, kalau Valdi punya pacar. Nggak bakal banyak syaratnya kan?" Pertanyaan isengku di suasana sarapan pagi ini.

Aku anak tunggal, tinggal bersama orang tua yang sibuk.
Bisa sarapan bareng kaya'nya gini mungkin hanya dua kali dalam setahun.
Seperti gambaran kehidupan tidak bahagia sebagai anak keluarga kaya pada umumnya.
Problemku nggak jauh-jauh dari kurang kasih sayang dan kesepian.

Papa sibuk sama ani-ani nya. Dan Mama sibuk sama brondongnya.

Tapi di tengah-tengah kesibukan mereka buat dosa, mereka masih selalu punya waktu untuk gangguin hidupku.

Yang kaya' gini contohnya :

"Cantik, baik, dari keluarga terpandang, berprestasi, dan seiman." Jawab Mama.

Kenapa mereka nggak urus aja urusan mereka sendiri? Kenapa aku harus berhubungan dengan cewek spec miss universe, sementara mereka justru berhubungan dengan orang nggak jelas yang pasti cuma mau ambil uang mereka aja?

Aneh. Mana segala ngomongin iman. Kan nggak selaras dengan keimanan mereka yang juga perlu dipertanyakan. Ck.

Aku nggak akan sebutin agamaku apa. Tapi yang jelas, aku nggak pernah sekalipun kenalan sama orang yang seiman sama aku di kota kecil ini.

"Jadul banget pemikiran Mama. Padahal kan bisa dengan iman masing-masing."

"That's the bare minimum Vivaldi." Giliran Papa yang memberikan opininya yang sialan.

Nye Nye Nye.

Cantik?
Ayunda cantik kok. Nilai plus karna body nya juga bagus.

Baik?
Ayunda baik. Dia bahkan rela piket sendirian hari itu.
Nggak semua orang bisa sabar di jaman sekarang.
Kalau aku pasti udah aku patahin aja sekalian sapu kelas dan aku juga bakal hancurin semua peralatan piket biar satu team sekalian ganti rugi bareng, mampus.

Seiman?
Sadly, tidak seiman.

Dari keluarga terpandang?
Nah ini yang aku belum tau.

.
.
.

Liburan sekolah.

Aku mau anter Ayunda pulang kampung ketemu neneknya.
Sekalian mau tau lebih dalam tentang keluarganya.

Kita naik kereta, padahal aku punya mobil nyaman dengan bahan bakar full, lengkap dengan surat izin mengemudi yang masih seger banget karna aku baru bikin.

Tapi Ayunda malah maunya naik kereta, mungkin karna dia nggak mau ngerepotin aja. Jadi yaudahlah aku turutin.. sekalian coba naik kereta juga nih, soalnya seumur hidup aku belum pernah.

Literally kereta ya ini, bukan MRT atau kereta listrik gitu.

"Gue samping jendela." Pintaku. Karna aku yang newbie ini mau lihat pemandangan. 🙄

"Tapi aku mau disamping jendela juga. Aku di belakang aja deh."

Kalau sama orang lain aku -Terserah-. Tapi kalau untuk cewek inceran, tentu harus -Mengalah-. 🥲

"Eh jangan dong. Yaudah lo di samping jendela okay. Gue liatin lo aja udah cukup deh."

...

Ternyata kaya' gini naik kereta? Seru juga.
Rada berisik jadi aku pakai earphone bareng Ayunda.
Satu di telingaku, satu di telinga dia.

Dengerin lagu slow romantis, dan Ayunda malah ketiduran di lenganku.

Dan aku berdebar lagi. 😳
Dengan sendirinya sesuatu terasa seperti meletup-letup di rongga dada.
Sepele kaya' gini aja aku udah merasa seperti lagi ada di scene drama romantis. Sial.

Biar makin pol bapernya. Aku genggam aja deh tangannya.

Dan sekelibat bayangan itu malah muncul lagi.

Bukan soal Naya kali ini. Tapi itu bayangan waktu aku naik mobil dan mobilku mau ditabrak sama truk tronton dari samping.

Merusak suasana banget anjing.

Aku jadi otomatis teriak karna beneran kaget.
Terasa nyata banget seolah aku beneran lagi mau ditabrak gitu soalnya.

Orang-orang di gerbong ini juga jadi ikutan kaget karna ulahku. Maaf banget.

"Kenapa Val?" Tanya Ayunda sambil lepas genggaman tanganku. 😒

"Yun, kaya'nya di kehidupan itu, Steve meninggal karna kecelakaan deh. Karna nggak mungkin banget dia selamat kalau dia cuma manusia biasa."

Dan aku jadi tau sekarang alasan kenapa semua ini terjadi.
Steve dan Naya belum selesai, karna Steve yang keburu dipanggil Tuhan.

Duh ternyata emang takdir tuh nggak bisa dilawan banget ya.
Semuanya pasti bisa kacau balau kalau udah takdir yang tidak merestui. 😔

"Kamu liat bayangan lagi?" Tanya Ayunda.

Aku mengangguk. "Steve kecelakaan."

Ayunda tiba-tiba nunduk megangin kepalanya. Dia pasti dapet bayangan juga tuh.

"Apa yang lo liat? Soal kecelakaan Steve?"

Ayunda menggeleng. "Soal Naya dan Steve yang dilarang bersama sama keluarga mereka."

Jadi clue kali ini ternyata tentang alasan mereka berpisah.

Pas banget gini soal keluarga. Masa' iya sekarang kita dihalangi lagi sih?

.
.
.
.

Akhirnya sampai di rumah Ayunda.

Rumah kecil, sekecil kamar pembantuku di rumah. 🥲

Okay, dari sini aja udah jelas. Kita pasti nggak akan direstui dari pihak keluargaku.

Apalagi?

"Temennya Yunda ya Nak? Aduh ganteng banget..." Kata Neneknya.

Banyak yang bilang sih Nek..

"Jagain Yunda ya Nak.. kasihan dia di Jakarta hidup sendiri. Papanya udah meninggal, Mamanya malah nggak pernah ada kabar." Lanjut si Nenek yang sepertinya udah terbiasa oversharing.

Aku menghela nafas, makin nggak direstuin lagi lah ini.

"Iya Nek, pasti saya jagain." Jawabku yang pasti tetep bakal jagain Ayunda kok. Apapun yang terjadi, direstuin atau enggak, tetep bakal aku jagain. Aku janji.

"Ayo makan dulu sekarang, nenek udah masakin makanan enak buat kalian."

...

Di masakin makanan yang katanya enak, tapi ini terlihat seperti bukan seleraku.

"Ini enak kok Val, penyajiannya aja yang kurang. Coba dulu deh." Kata Ayunda yang mungkin liat ekspresi ragu nampak jelas di wajahku.

Lalu kita berdo'a dulu sebelum makan.
Dan perbedaan kita terlihat jelas lagi disini.

Cara berdo'a kita nggak sama.

Penghalang kita terlalu kuat nggak sih? Jalan kita pasti agak sulit kedepannya.

Tapi aku nggak mau menyerah seperti Naya dan Steve.

Di kehidupan ini... Aku sama Ayunda harus bersatu bagaimanapun caranya.

Ada banyak jalan kok. Lewat jalan sempit penuh lumpur pun aku jabanin.

Temboknya ketinggian dan sulit dirobohin? Yaudah aku panjat aja.

IN ANOTHER LIFE [ YUNA x SUNGHOON ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang