15° Terlampau Sudah

75 11 4
                                    

Janlup vote dan komen biar semangat up-nyaa

🐨HAPPY READING🐨

Pagi sudah menerangi sejak tadi, Ratih sedikit bingung dengan keadaan meja makan yang belum lengkap akan kedatangan sang sulung, pasalnya jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, sudah 15 menit terlewat dari biasanya meja makan harus ramai. Dilihatnya Vika yang sibuk sendiri mulai membereskan peralatan makan, lalu bangkit sambil membalas tatapannya.

"Kakak biar aku samperin aja kali, ya?" tawar Vika, tapi Ratih justru menanggapinya dengan gelengan pelan.

"Kamu berangkat kuliah aja, nanti telat." Tak menunggu tanggapan lagi, Ratih langsung mendorong pelan tubuh Vika, menuntung si bungsu itu sampai ke teras rumah. "Hati-hati di jalan, jangan lupa dimakan bekalnya."

Vika terkekeh pelan, template kalimat itu tak pernah absen diucap dari bibir bundanya. "Iya-iya, Bunda bawel banget." Percakapan singkat dengan nuansa hangat itu lekas berakhir tatkala Vika beranjak dari tempatnya berdiri setelah menyalami tangan Ratih.

Melihat punggung anaknya menjauh saja mampu membuat hati kecil Ratih sedikit meringis. Ia bahagia bisa memiliki dua anak yang begitu dewasa, menyembunyikan apa yang diinginkan sedari usia mereka masih kecil. Rumah sederhana yang mereka tempati menurut Ratih pribadi menjadi saksi hanya sebatas itu kemampuan lemahnya untuk mengais kehidupan, sisanya harus dipegang oleh Mika tanpa kemauan dari dirinya, si sulung dengan sejuta keikhlasan tanpa keluhan memasang tameng atas segala kekurangan.

Memikirkan soal Mika, Ratih jadi ingat janjinya pada Vika tak lama lepas untuk menyuruh anak sulungnya agar sarapan segera sebab waktu pagi kian naik menuju kata siang yang terik, tidak bagus beraktivitas dengan perut kosong. Lantas, lekas kedua kaki sedikit rapuh itu melangkah menuju kamar sulungnya yang sedari tadi dipanggil hanya menyahut untuk sarapan nanti saja.

Menurut Ratih sendiri, rata-rata anak zaman sekarang yang ditemuinya begitu sulit untuk makan tepat waktu, padahal sudah disediakan dengan apik.

Melupakan keluhan barusan, tangan Ratih langsung memutar kenop pintu, mulutnya bersiap untuk melontarkan segala teguran lembut yang akan terdengar lelah nantinya. "Mika, sarapan ayo sekarang, jangan dibiasain ..." Perlahan kata demi kata itu tertelan angin, memutuskan yang belum usai untuk dilontarkan. Netra mata Ratih kentara berubah menyorot kekhawatiran, tubuhnya yang tak tegap sepenuhnya langsung berlari kecil tatkala Mika tengah tertidur dengan selimut berantakan serta merta wajahnya yang pucat pasi.

"Muka kamu pucat gini ..." Ratih berdesis pelan, telapak tangannya yang menyentuh dahi sang anak membuatnya semakin dilanda kekhawatiran yang amat karena bersentuhan dengan suhu panas begitu tinggi. Dengan cekatan ia mengambil termometer di dalam laci yang menyimpan kotak obat, lantas memasukkan benda itu perlahan ke dalam mulut Mika.

Waktu tunggu akhirnya selesai, dilihat termometer itu oleh Ratih. "Tinggi banget ini," ujarnya semakin khawatir karena angka yang muncul tertera cukup tinggi. "Kamu kecapekan kerja, kan?"

Sembari menyerahkan sepenuhnya pada Ratih untuk memberikan obat padanya, Mika menggeleng sangat pelan. Ia merespons begitu karena tahu ke depannya Ratih akan selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai pelaku yang bahkan tidak melakukan kejahatan apa pun, seperti tidak becus menjaga kesehatan anak.

Helaan napas terdengar jelas di telinga Mika, dilihatnya Ratih memberikan tatapan sendu. Ah, ternyata jawabannya dianggap bohong.

"Kalau bukan karena capek kerja, terus apa?" tanya Ratih dengan nada sedikit menyudutkan. "Banyak pikiran?"

Mika tak menjawab, bibirnya seperti kelu tanpa kehendaknya. Kebisuannya mampu membuat Ratih yakin dengan asumsi bentuk pertanyaannya barusan, entah pikiran apa itu. "Kamu mikirin apa, Mika? Biasanya hal kecil dilaporin ke Bunda, ini kok disembunyiin?"

[SEGERA TERBIT] Akhir dan Takdir || Jaehyun X Mina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang