27. Darling and Honey [Revisi]

35 7 1
                                        

Langkah mereka beriringan, namun kebimbangan menyelimuti.

Setiap anak tangga yang mereka turuni seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam ruang hampa—bukan hanya sekolah yang sepi, tapi juga jarak di antara keduanya.

Mereka telah menembus batas yang seharusnya belum dilangkahi. Namun alih-alih kedekatan, yang datang justru keasingan.

Canggung. Sunyi. Dingin.

Di depan gerbang sekolah, mereka berhenti. Menanti Olivia dan Jovian yang masih berbelanja untuk keperluan festival.

Niko mencuri pandang ke arah Kouko. Gadis berdiri diam di tepi jalan dan bibirnya tertutup jemari—seperti sedang berusaha memahami sesuatu yang tak tertangkap oleh kata.

Bukan ini yang ku mau. Kalimat itu hanya bergema di kepala Niko.

Menyatakan perasaan bukan berarti menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa saja membuat masalah itu makin terbuka.

Tiba-tiba Kouko memutar tubuhnya.

Menatapnya dengan wajah yang masih kebingungan, masih merah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya. Seolah ia ingin berkata banyak, tapi hanya satu kata yang berhasil keluar.

"Sa-sayang..."

Suaranya kecil. Ragu. Nyaris seperti bisikan.

Niko membeku. Matanya melebar.

"Y-ya ampun," gumamnya panik, buru-buru memalingkan wajah dengan wajah semerah tomat.

"I-Iya...?"

Ia belum siap untuk menerima panggilan itu, membuatnya kini kebingungan. Apakah dia harus membalas panggilan itu?

Niko menghela napas panjang, menatapnya lagi. "Aku... belum siap denger itu, Ko. Maaf,"

Kouko hanya mengangguk, sebelum kembali mengalihkan pandangannya. "Akan aku cari yang lain, untuk kamu."

"Ok,"

Hening.

Deruan angin sore berembus pelan, membawa serta beberapa helai daun dan kelopak bunga yang gugur dari pohon. Mereka menari-nari di udara, entah akan jatuh di mana.

Beberapa saat kemudian, Olivia muncul dari ujung trotoar. Nafasnya berat, wajahnya sedikit pucat karena kelelahan.

"Gimana? Udah aman?" tanya Niko.

Olivia mengangguk sambil menarik napas panjang. "Udah kok." Ia sempat membetulkan rambutnya, lalu melirik ke arah Kouko yang berdiri membelakangi mereka, terdiam.

"Kenapa dia?" tanyanya pelan.

"Ng-nggak tau!" Niko langsung menjawab cepat, ekspresinya tegang seperti orang yang habis ketahuan nyembunyiin sesuatu.

Olivia tidak menanggapi, hanya menghela napas dan mengeluarkan secarik kertas kusut dari sakunya. "Jadi... kami beli dua dus mi instan, lima kilo beras, empat lusin mangkok kertas, enam lusin sendok garpu plastik, sama dua dus air mineral."

Niko mengangguk-angguk, mencatat dalam kepalanya. "Kena berapa?"

"Tiga ratus lima puluh ribu," jawab Olivia singkat.

"Masih banyak sisanya," seru Niko, sedikit terkejut.

"Yup!" Olivia tersenyum, lalu menambahkan dengan nada serius, "Ngomong-ngomong, dananya jangan dipake semua ya."

Niko mengernyit. "Buset, mau dikorupsi?"

"Ya enggak lah! Dana darurat, woi!" sahut Olivia, sedikit kesal, memukul pelan lengan Niko.

Forbidden Book [Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang