Pernikahan Kanaya dan Jevano berada di ujung tanduk. Perpisahan siap menyambut keduanya. Bagai gedung tua yang sudah lapuk, dinding-dinding kepercayaan di antara mereka telah terkikis perlahan.
***
Sepuluh tahun pernikahan membawa Jevano pada titik...
"Dalam keheningan, setiap tetesan air mata menyuarakan kehancuran yang sulit diungkapkan, mengukir luka yang semakin dalam di relung jiwa."
🌸🌸🌸
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jevano begitu kacau ketika ibunya jatuh sakit. Wanita yang melahirkannya itu mengalami gagal ginjal dan harus operasi serta cuci darah rutin. Jevano menunggu di depan ruang operasi sendirian. Ivana baru saja pulang dan bergantian jaga dengan dirinya. Sedang Kanaya berada di rumah, merawat Neira yang dari kemarin demam.
Sesaat kemudian dokter keluar ruangan, menyampaikan padanya bahwa mereka butuh darah karena di rumah sakit stok darah O- sedang kosong. Jevano kebingungan, golongan darah O- hanya menerima transfusi dari golongan darah yang sama. Sedangkan miliknya adalah B+ seperti sang ayah dan kakaknya.
Di tengah kebingungan itu dia bertemu Windy. Teman lamanya sewaktu kuliah. Beruntungnya dia berkenan melakukan transfusi darah.
Lalu kebetulan-kebetulan lainnya berlanjut. Jevano bertemu Windy di depan klub. Saat dirinya begitu kacau usai mengetahui hubungan istrinya dengan Diego. Tapi kala itu Windy babak belur dihajar mantan kekasihnya.
"Jangan takut, aku akan membantumu."
Jevano tak hanya menyelamatkan Windy dari Satya, namun juga memberinya pekerjaan sebagai sekretaris. Tanpa dia sangka, Windy juga menjadi sandaran untuknya. Mendengarkan cerita-cerita menyakitkan darinya tentang rumah tangganya. Mereka seolah salih membutuhkan. Saling memberi hiburan. Dan saling bergantung satu sama lain.
"Aku juga akan membantumu untuk menyembuhkan luka itu, Jev."
Windy kerap menemani Jevano saat mabuk karena merasa begitu putus asa atas pernikahannya. Mereka akan minum bersama. Hanya sebatas itu. Namun ada satu malam yang membuat Jevano ragu. Windy mengantarnya ke apartemen. Seingatnya dia hanya mabuk berat dan pingsan. Tapi Jevano cukup kebingungan mendapati tubuhnya setengah telanjang ketika terbangun.
"Kamu pernah tidur dengannya?" pertanyaan Kanaya itu membuatnya tergagap. Menariknya dari lamunan tentang kejadian malam itu. Jevano menggeleng lemah, tapi air mata Kanaya sudah terlanjur turun dengan derasnya.
Setelahnya mereka diam, meratapi keheningan yang mengisi ruangan. Matanya bertemu dengan mata Kanaya yang penuh kekecewaan dan ketidakpercayaan. Setiap detik terasa berat, dan suasana ruangan terasa semakin tegang.
Jevano mendekat, menyeka tiap bulir yang penuh kesakitan itu. "Tidak, aku bersumpah tidak pernah tidur dengannya."
Kali ini dia katakan dengan tegas kalimat itu. Kanaya menghentikan tangis, mencari kebenaran. Sorot mata yang Jevano tampilkan adalah kesungguhan.
"Bagaimana jika aku menemukan fakta yang lain. Apa yang akan kamu lakukan?"
Jevano menarik napas, mengisi parunya dengan oksigen. Dia juga merasa sesak. Ketakukan. Tapi dia bersungguh-sungguh. Dalam kondisi tidak sadar pun, dia tak mungkin menghianati istrinya.