Bab 48

3.5K 107 6
                                    

Happy Reading....

🪲🦋🪲🦋

Semalaman Zefa menangis dengan bantal yang menutupi wajahnya guna meredam suara tangisannya. Akibatnya, sekarang kantung matanya benar-benar tebal setelah bangun dari tidur yang tidak disengajanya, sepertinya ia terlelap karena terlalu lelah menangis.

Zefa dapat menghindari Raka kemarin. Ia langsung pergi ke kamar setelah pulang sekolah dan tidak keluar sama sekali dengan alasan pusing. Untung Mama juga tidak memaksanya untuk ikut makan malam.

Tapi tidak ada yang bisa ia hindari pagi ini karena ia tak mungkin melewatkan sarapan. Mama akan semakin curiga jika ia menghindar terlalu banyak.

Zefa sudah tidak tahu lagi harus seberapa tebal ia memoleskan bedak di bawah matanya. Ia tidak memiliki kesempatan untuk ke dapur karena ia pasti akan bertemu Mama di sana. Ia tidak ingin mengambil risiko terlalu banyak. Dan untungnya lagi pipinya sudah tidak semerah kemarin atau ia akan semakin kesulitan menutupi wajahnya. Hanya saja kakinya ternyata terluka saat jatuh, namun masih bisa ia tutupi dengan rok.

"Rasanya capek," lirihnya. Menyesakkan jika mengingat kejadian kemarin.  Kejadian tidak terduga yang akan membuat kehidupannya berbalik 180 derajat setelahnya.

"Apa gue bakal kehilangan semuanya, lagi?" tanya Zefa yang kini tengah berkaca di depan cermin rias. Zefa memegang pipinya yang dipukul Raka dengan tangannya yang bergetar samar. Zefa menggelengkan kepala lalu keluar dari kamar dengan membawa tas sekolahnya.

Sarapan berlangsung dengan hening. Mama dan Papa masih belum bisa terbiasa dengan ketenangan yang terjadi. Sebenarnya mereka masih curiga jika kedua putra putrinya ini bertengkar, mereka baru menyadarinya setelah pulang dari luar kota dua bulan lalu. Namun, baik Raka maupun Zefa selalu menyangkal jika tengah bersiteru.

"Raka!" panggil Papa terhadap putra sulungnya yang langsung menatapnya, "Udah diobati lagi belum lukanya?"

Raka mengangguk, "Udah diobati tadi sama Mama,"

Zefa mendongak sekilas. Ia dapat menemukan beberapa lebam di wajah Raka. Ia benar-benar terkejut melihatnya, namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan dari mana luka itu berasal.

"Zefa masih pusing nak? Kamu kelihatan pucat," tanya Mama. Pertanyaan itu membuat kedua laki-laki yang duduk berhadapan ikut menatap Zefa.

Zefa menggeleng pelan, "Nanti Zefa bareng Papa ya?"

Raka langsung berhenti makan setelah permintaan Zefa.

"Bareng Papa? Tumben mau sama Papa? Ini kalian beneran nggak lagi berantem kan?"

Zefa menggelengkan kepalanya cepat, "Nggak Pa. Zefa..." Zefa memutar otak dengan cepat, "Zefa mau fotokopi di Akang Asep,"

"Akang Asep? Jauh banget?" tanya Papa semakin curiga.

"Zefa mau beli gantungan kunci di sana. Mau Zefa kasih ke Niken. Harusnya kemarin Zefa belinya, tapi Zefa lupa," alibi Zefa sembari terus melanjutkan sarapannya. Walau sebenarnya jantungnya sudah berdebar tidak karuan sekarang, semoga saja kebohongannya ini tidak disadari mereka

"Masih sempet kok Pa kalau ke sana dulu,"

Zefa mendongak terkejut menatap Raka yang bersuara. Kenapa Raka harus mengatakan itu sekarang?

"Atau Zefa masih pusing? Makanya minta diantar Papa?" tanya Papa.

Zefa semakin ragu untuk menjawab, ia takut berbohong lebih banyak lagi. Zefa menggelengkan kepalanya pelan menjawab pertanyaan Papa.

"Zefa udah sembuh kok Pa,"

Setelah itu mereka melanjutkan makan dengan tenang hingga selesai. Lalu dilanjutkan dengan Papa yang berangkat ke kantor, Mama yang bersiap arisan, dan kedua putra-putri mereka yang berangkat ke sekolah.

Beetle Knight and PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang