Memutuskan untuk pulang saja dan tidak jadi berbelanja gaun sesuai agenda yang sudah ditentukan, Rean selama di mobil tadi hanya diam saja. Jika ditanya pun dia akan menjawab sangat singkat, Viona tidak mengerti kenapa Rean marah. Dia sedang berusaha untuk peka mengenai kekesalan pacarnya tersebut.
Berjalan cepat bahkan mendahului Viona, Rean menekan sandi pin di pintunya lalu masuk dengan langkah lebar, dia melepas jaket denim yang dikenakan lalu melemparnya asal ke sofa. Kemudian duduk dan menyandarkan kepalanya di bantalan, wajahnya muram dan matanya memejam dalam. Nafasnya benar-benar tidak beraturan.
Seharusnya kencan malam ini menjadi romantis, menjadi ajang antara Viona dan Rean saling berbagi kasih sayang. Namun, sejak Twinsi datang mengganggu, semuanya jadi di luar kendali. Mood Rean menjadi buruk, dia rasanya ingin menghancurkan sesuatu untuk melampiaskan emosinya. Tetapi kini dia memilih diam saja, tidak mau melontarkan kata yang akan menyakiti siapapun.
Tak lama sejak Rean duduk, Viona ikut masuk lalu menaruh tasnya di nakas kamar. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan menunduk sedih.
Seharusnya saat ini mereka sedang makan malam di restoran dan membeli kudapan es krim untuk camilan setelah makan. Namun melihat Rean tampak emosi begitu bahkan sampai mencengkeram keras pergelangan tangannya seperti tadi, membuat Viona urung untuk memberi tahu pria itu jika dia lapar.
Menyampirkan anak rambut ke belakang telinga, wanita itu diam-diam menitikkan air mata. Dia tidak tahu jika Rean memiliki sisi amarah yang tidak pernah dia ketahui sebelumnya. Dua tahun hidup bersama mereka tidak pernah bertengkar dan Viona tidak pernah melihat Rean begitu kesal akan sesuatu.
Setelah emosinya mereda, Rean memijat pangkal hidungnya lalu menoleh ke belakang menilik wanita itu. Dia bangkit dari kursi lalu menghampiri Viona yang ternyata memilih untuk berbaring dan tidur tanpa sepengetahuannya.
Pria itu berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang untuk memandangi wajah cantik kekasihnya. Meski mulutnya tidak banyak mengeluarkan kalimat, tetapi dia merasa sangat menyesal sudah melampiaskan kekesalannya terhadap Twinsi kepada pacarnya yang memang tidak tahu apa-apa. Rean hanya bercerita mengenai kondisi orang-orang di kantor yang sering menjodoh-jodohkannya kepada staff perempuan, dia tidak mengatakan kepada pacarnya bahwa Twinsi beberapa hari lalu mengungkapkan perasaan. Itulah sisi jelek Rean, komunikasinya buruk dan dia tidak mau jujur sejak awal. Menurut pemikirannya, Viona tidak perlu tahu karena hal itu tidak penting, belum tentu juga akan peduli.
Tanpa menyadari Twinsi akan berbuat sejauh itu, Rean kini merasa bodoh tidak memberi tahu wanita itu sejak awal bahwa Twinsi suatu saat bisa mengganggu.
Tangan kanannya terulur untuk mengelus wajah cantik itu, Rean menemukan sudut mata kekasihnya yang basah. Mengembuskan nafas berat, Rean tahu Viona pasti sedih tadi sudah dibentak-bentak olehnya.
"Hmmm..." Membuka mata secara perlahan, Viona menyadari Rean sedang menatapnya dan mengelus wajahnya, wanita itu reflek bangun dan memegang tangan pria itu.
"Kamu udah merasa lebih baik?" tanyanya hangat.
Tak menggubris pertanyaan itu yang Rean lakukan adalah menarik tangan wanita itu dan mendekapnya dalam dada. Dia sudah berjanji tidak akan membuat kekasihnya menangis apa pun masalahnya. Namun belum apa-apa dia sudah gagal.
"Re, aku tau kamu marah. Nggak apa-apa."
Rean semakin mengeratkan pelukannya, bibirnya bergetar kecil mendengar wanita baik itu justru terus memaklumi ketidakjelasan sikapnya yang sering meledak-ledak.
"Jangan bilang gitu, aku mau kamu marah sama aku karena tadi aku kasar." Melepas peluka itu, Rean memegang kedua bahu Viona untuk memberinya sedikit pelajaran. "Tampar aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
How to kiss?
RomanceBagaimana rasanya diminta menjadi partner berlatih ciuman? Aviona Elardi pikir, teman sekamarnya yang 27 tahun menjomblo itu akan terus berpikiran pendek dan takut untuk membuka hati. Namun saat suatu hari Reandra Abimanyu memintanya untuk diajari d...