25

3K 223 18
                                    

amorist;
a person who is devoted to love.




"Was it good? Your life back then, in the orphanage."

Di depan jendela besar, duduk bersandar meluruskan kaki, dengan ibu di sebelah kanannya dan Taehyung di sebelah kiri. Pertanyaan Jeongguk terdengar tak yakin— ia takut pertanyaan itu akan memutar memori buruk para penjawabnya.

"Kamu tanya siapa? Ibu atau Taehyung?"

Taehyung tersenyum. Meskipun masih gugup luar biasa, namun hatinya menghangat bisa menikmati momen mengenal ibu Jeongguk dan bahkan duduk bertiga di rumah Daegu menatap malam bersalju.

"Mm. Dua-duanya?" Kata Jeongguk, terdengar ragu lagi. Tangan kanannya memeluk bahu ibunya sedangkan tangan kiri mengusapi rambut Taehyung. Suhu tubuhnya menghangat apalagi setelah menikmati daging panggang buatan ibunya.

"Kehidupan Ibu di panti dulu sangat menyenangkan, malah." Nyonya Jeon menjawab dulu. Ia sedikit melirik ke Taehyung dan meraih tangannya untuk digenggam lalu mengusapnya pelan, meletakkannya di atas paha Jeongguk. Meskipun semuanya tampak mendadak dan tak bisa disangka, namun Nyonya Jeon mengaku bahwa dia telah berhasil melihat anaknya bahagia secara tulus karena percintaannya.

Dan wanita itu ingin terus melihat Jeongguk memancarkan mata yang hidup– cerah dan penuh kasih sayang karena berhasil menemukan seseorangnya.

"Panti asuhan tempat Ibu tinggal gak begitu besar. Di tahun itu, anak asuh di pantinya kurang dari 50. Kalau udah petang, pasti semuanya masuk dan gak berani ada yang keluar– soalnya panti asuhan itu di deket hutan. Belum banyak rumah dan gak ada tetangga."

Kedua pasang telinga di sana mendengarkan ibu Jeongguk dengan seksama. Sesekali, Taehyung menyodorkan minuman panas Jeongguk dan menyuapinya kue. Meringsut lebih dekat ke kekasihnya mencari kehangatan.

"Salah satu area hutan di belakang panti– itu hutan punya kakek kamu. Dan Ibu ketemu ayah kamu karena dia sering angkatin kayu di sana." Nyonya Jeon tertawa. Kepalanya memutar memori mendiang suaminya yang masih muda, sibuk memotong dan menggotong kayu pohon yang baru ditebang sambil mencuri pandang ke arah panti asuhan.

"Ayah kamu sama kayak kakek kamu, Jeongguk. Terampil, ulet, gigih. Gak heran kalau dia bisa sesukses ini."

Mendengar hal itu, Jeongguk sedikit rendah diri. Ia tak pernah segigih ayah dan kakeknya yang membangun usaha dari titik rendah– Jeongguk hanyalah pewaris.

"Makanya, kamu juga harus jaga kesuksesan ayah kamu." Nyonya Jeon mencoba meyakinkan anaknya bahwa Jeongguk tak kalah hebat. "Kamu pinter ngobrol, pinter bikin inovasi bagus dan menarik hati orang lain. Ayah suka soalnya kamu bisa berpikir cepat dan kasih solutif yang menguntungkan. Makanya, Ayah paksa kamu buat sekolah dan lanjutin bisnisnya karena Ayah lihat kamu itu pinter dan harus dikembangkan."

Jeongguk tersenyum, ia menoleh ke arah wanitanya lalu mengusap kepala ibunya, sedikit malu karena pujian wanita itu. "Bu, ceritain soal panti. Bukan yang lain."

"Oh, iya. Ayah kamu suka mampir ke panti kalau lagi disuruh kerja, dan begitu Ibu lulus SMA, dia bilang mau sekolah dan ngelamar Ibu segera. Waktu itu Ibu masih ada di panti, urus beberapa anak kecil yang udah ibu anggap kayak adek. Anak asuh lain udah dapat hidup yang bagus di luar, dan terakhir Ibu di sana, adek kesukaan Ibu umur 2 tahun diadopsi sama seseorang."

Nyonya Jeon tersenyum, ada rona merah di pipinya selagi ia bersandar di bahu Jeongguk. "Anak panti juga ada bandelnya, termasuk Ibu. Dulu suka banget alesan ke kamar mandi malem-malem padahal mampir ke dapur dan curi snack kesukaan Ibu."

AMORIST- KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang