20

1.7K 210 24
                                    



"Ada apa, Jeongguk?"

Hari itu tepat hari dimana ayah Jeongguk meninggal beberapa tahun lalu. Ibunya sakit, Taehyung meninggalkannya, dan Aerin juga dalam keadaan tidak baik hingga Jeongguk tidak bisa meluruskan hal sesegera mungkin. Ia berangkat ke Daegu kemudian, menemui ibunya secara tiba-tiba yang menyadari ada gurat lelah- luar biasa lelah di wajah putranya.

"Ada masalah?" Tak perlu ditanyakan lagi. Sebenarnya, ibu Jeongguk tahu ada yang salah hingga membuat anaknya datang padahal seharusnya ada di kantor perusahaan sekarang.

Tak menjawab, Jeongguk beringsut ke pelukan ibunya, mengusap kepala bagian belakang ibunya sembari memikirkan kalimat yang pas untuk mengakui semuanya. Mengingat hal itu membuat Jeongguk lagi-lagi khawatir wanita itu akan kecewa.

Apa mungkin karena Jeongguk teringat ayahnya sama seperti Nyonya Jeon yang teringat dan merindukan mendiang suaminya. Ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri. Sudah mempersiapkan kalimat yang akan keluar dari mulut Jeongguk meskipun ia memiliki firasat yang tak enak.

"Bu, dulu Ayah yang selalu pengen aku nikah sama Aerin, ya?"

Alis wanita Jeon itu terangkat, tak menyangka pembicaraan Jeongguk ternyata mengenai hal itu.

"Iya. Dia pengen maksudnya biar kita makin akrab sama keluarga Han."

"Dulu waktu aku selalu nolak idenya buat nikah sama Aerin, Ayah betulan kecewa?"

Nyonya Jeon menggunakan waktu sejenak untuk memutar ingatannya beberapa tahun lalu, ketika suaminya masih ada dan sering geleng kepala karena putra mereka yang masih keras kepala. "Kecewanya karena kamu yang bandel aja, susah dibilangin. Bukan kecewa karena kamu gak mau sama Aerin."

Nyonya Jeon melihat putranya melepas pelukan dan berpindah untuk berdiri menghadap jendela yang menampilkan suasana dingin di luar. "Lagian siapa yang gak kesel kalau kamu jawabnya aja 'gak mau gak mau', tapi nggak ngasih alasan jelas. Coba kamu kasih alasan, pasti Ayah bakal paham."

"Aku takut alasanku gak kuat dan berakhir sia-sia. Makanya beberapa bulan lalu waktu Ibu minta berencana tunangan sama Aerin, aku nyerah. Mungkin emang alesanku tetap sendirian selama ini bakal jadi sia-sia. Mungkin emang kedengaran jahat, tapi aku nerima rencana tunangan sama Aerin juga karena mau lihat Ibu seneng aku gak keras kepala lagi."

"Jeongguk," Nyonya Jeon mendekat untuk menepuk pelan punggung anaknya. "Gak perlu sampai segitunya. Iya betul Ibu seneng, tapi Ibu bakal lebih seneng kalau kamu juga seneng. Ibu khawatir waktu itu kamu akan selamanya sendirian, nanti kalau ibu udah nggak ada, siapa yang mau nemenin kamu coba? Ibu jodohin kamu sama Aerin bukan karena dia dari keluarga mampu, tapi Ibu liat dia cukup baik buat kamu."

"Kalau aku boleh bilang, menurutku Aerin gak cukup baik, masih kurang buatku. Maaf Bu, aku berasa bohongin Ibu karena udah setuju padahal aslinya aku nggak mau."

Nyonya Jeon menghela nafas, ia sebenarnya sudah tahu bahwa dari dulu Jeongguk tak menunjukkan ketertarikan pada Aerin. Namun ketika ia mencoba menawarkan lagi beberapa bulan lalu, dia cukup terkejut bahwa Jeongguk tiba-tiba menyetujui, seolah selama ini Jeongguk sudah tak punya alasan untuk menolak.

"Emangnya apa yang buat kamu selalu nolak Aerin dari dulu?"

"Aku udah suka sama orang lain."

Nyonya Jeon melebarkan matanya, ingin sekali ia pukul Jeongguk yang berdiri di sebelahnya. "Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Jeongguk? Kan bisa kita bicarain, nggak perlu sampai bikin keluarga Han digantung. Oh, apa kamu jadiin Aerin pilihan kedua?"

AMORIST- KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang