Sephora Zalina Primrose
Sagion Ragaspati Liam
Prolog
Gigitan pertama apel hijau menjadi selingan dalam kegiatan membacanya, pada waktu petang di atas kursi santai yang bergerak mengayun. Halaman per halaman majalah musim terbaru telah ia tuntaskan sampai akhir, membuat dirinya menutup buku tersebut lalu menyimpan ke atas meja tanpa beranjak.
Kini gigitan kedua apel membawanya untuk melamun; memikirkan tentang takdir kehidupan baru yang sekarang tengah ia jalani.
Perjodohan.
Dalam hal ini Sephora merasa tidak dirugikan namun tidak juga diuntungkan. Kehidupan setelah menikahnya hampir sama saja; tidak berubah terlalu kentara dengan kehidupan semasa jomblonya. Hal ini cukup membantu berhubung di umurnya yang sekarang, yaitu 28 tahun, ia masih ingin mengejar karir tanpa banyaknya tuntutan itu dan ini.
Apa karena suaminya buruk? Tidak juga.
Sephora Primrose dan Sagion Ragaspati adalah kombinasi yang sempurna. Ingin melihat dari sudut mana? Pedidikan? Perjalanan karir? Jabatan? Keluarga bibit dan bobotnya? Relasi? Pertemanan? Atau mungkin dari inisial nama?
Semuanya bisa disetarakan.
Suara pintu yang terbuka membuat lamunan perempuan itu buyar. Ia lantas menyimpan apel hijau yang tinggal setengahnya itu pada meja di samping majalah lalu beranjak untuk mengekori lelaki yang baru saja masuk ke rumahnya.
Ah, suaminya telah pulang.
"Ada apa sama muka kamu, Sagion?" Goresan luka-luka cukup mendalam pada kedua pipi lelaki ini menjadi hal pertama yang menyita perhatiannya karena terlihat begitu mencolok.
Sephora berhenti di hadapan Sagion, membuat langkah lelaki itu terhenti seketika. "Kamu ngga denger pertanyaan aku?"
Sagion menghela napasnya panjang sembari mengalihkan pandangan, membuang muka. Sepertinya ia tidak terima jalannya di potong begitu saja. "Luka ini?" tanyanya, ia menunjuk pipinya. "Bukan apa-apa."
"Mau aku obatin?"
"Engga."
"Coba aku liat."
Namun dengan cepat Sagion menjauhkan kepalanya ketika tangan istrinya terulur untuk menyentuh wajahnya.
Tenang saja karena Sephora tidak merasa tersinggung atas penolakan suaminya barusan. Ia pun lalu berkacak pinggang. "Apa ulah perempuan yang sama?"
"Dia punya nama,"
"Natania."
Ya, seharusnya Sephora tidak perlu repot-repot bertanya siapa pelakunya.
"Sekarang apa lagi? Kalian berantem sampai cakar-cakaran? Lempar-lemparan gunting atau pisau mungkin?"
Melihat dari luka goresannya, sepertinya perempuan bernama Natania itu memiliki kuku yang panjang dan lancip. Entah hal apa yang membuat dia sampai berprilaku seperti ini.
Luka itu masih terbilang mendingan. Dua minggu yang lalu bahkan Sagion pulang dengan keadaan dahi berdarah-darah. Sephora yakin jika Natania telah melempar benda tajam seperti vas bunga sebagai senjatanya untuk melampiaskan kemarahan kepada suaminya.
"Sephora, apa aku pernah ngerepotin kamu soal luka-luka yang aku punya?" Suara rendah Sagion terdengar bertanya.
"Engga juga, kenapa? Ada yang salah?"
"Lain kali ngga usah banyak tanya kalau aku pulang dengan keadaan mengenaskan sekalipun."
"Begitu? Oke."
Kaki jenjang Sagion kemudian membawanya menuju sofa untuk merebahkan tubuhnya di sana. Matanya sontak terpejam, merasakan denyutan pada luka-lukanya yang semakin terasa perih. Berdebat dengan Sephora tidak akan ada habisnya. Cekcok antara mereka malah akan membuat ia semakin pening. Itu lah sebabnya ia memilih untuk menghindar.
Hingga beberapa menit berlalu, nampaknya cukup lama Sagion ada di posisinya yang nyaman. Bahkan rasanya ia sudah tertidur sesaat tanpa sadar. Namun suasana yang senyap tiba-tiba saja membawa suara gigitan apel menyeruak ke telinganya, menarik atensinya.
"Sephora?" panggilnya, ia mengganti posisinya dengan duduk bersadar. "Kamu masih di sini?"
"Masih," jawabnya, suara kunyahan apelnya masih terdengar.
"Lagi ngapain?"
"Apel aku belum habis."
Lalu Sagion membalikkan tubuhnya untuk melihat apa yang sebenarnya tengah istrinya lakukan. "Tidur, udah malam." Rupanya perempuan itu sibuk membolak-balik lembar majalah bersama beberapa butir apel di atas meja.
"Kamu sendiri ngga tidur?"
"Mungkin malam ini aku bakal tidur di kamar lain. I just need some time alone. May I?"
Lantas perempuan itu menjawab, "kenapa harus minta izin? Sure, go ahead, Ragaspati."
Kesempurnaan yang terlihat dari Sephora dan Sagion adalah berdasarkan sudut pandang orang lain. Sementara untuk mereka pribadi pernikahan ini terasa hambar, tidak selayak itu karena mereka tidak saling mencintai— ralat, belum saling mencintai— ralat, atau jangan-jangan mereka tidak akan pernah saling mencinta?
𝐃𝐢𝐝 𝐰𝐞 𝐦𝐚𝐤𝐞 𝐢𝐭?
• | 𝐍𝐨 𝐰𝐞 𝐝𝐢𝐝𝐧'𝐭 |
• | 𝐘𝐞𝐬 𝐰𝐞 𝐝𝐢𝐝! |
ೀ layaslake