Hampir dua pekan berlalu setelah kecelakaan yang di alaminya tempo hari. Dibandingkan hari-hari sebelumnya, kondisi perempuan itu juga sudah berangsur membaik walaupun memang belum di izinkan untuk pulang ke rumah.
Luka jahitan akibat robek di pelipis kanan sudah lepas perban, hingga sekarang hanya dibalut plester. Bengkak di kaki karena cideranya pun sudah membaik, menyisakan sedikit rasa nyeri saja. Sementara yang lainnya hanya berupa luka-luka kecil akibat goresan benda-benda di dalam mobil yang tidak terlalu serius.
Beruntung saat itu mobil yang ditumpanginya segera banting setir, sehingga yang terkena badan truk hanya sedikit bagian depan mobilnya saja. Coba kalau tidak? Mungkin keadaannya akan jauh lebih mengenaskan.
"Pah, kalau udah capek istirahat aja dulu, duduk dulu, aku ngga apa-apa."
Tapakan kaki Habin terhenti saat putrinya berujar bersamaan angin yang berembus pelan menyentuh surainya. Lelaki itu sedang melakukan rutinitasnya; mengajak Sephora jalan-jalan sore di taman belakang rumah sakit menggunakan kursi roda.
"Mana mungkin Papa kecapean buat anak yang hebat ini?" sambungnya, ia sedikit jongkok di hadapan kursi roda Sang putri. "Engga peduli seberapa capeknya Papa yang penting kamu bahagia, nak. Rasa capek itu bisa langsung hilang setelah lihat senyum kamu yang cantik. Sama cantiknya seperti senyum mama."
Walaupun ini bukan pertama kalinya Sephora mendengar kalimat-kalimat manis dari ayahnya, tetap saja ia tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersungging; tersipu atas perlakuan orang tuanya yang hangat.
"Waktu Papa pacaran sama mama dulu, pasti love language mama word of affirmation, ya?"
Habin mengernyit heran, "hm, apa itu?"
"Semacam bahasa cinta gitu, Pah. Perlakuan yang paling kita sukai dari orang di sekitar kita terutama pasangan. Kita bisa mengekspresikan rasa cinta yang kita punya sesuai sama love language orang yang kita sayang. Kaya mama sama Papa misalnya. Papa suka muji mama, apresiasi mama, karena dengan begitu mama jadi seneng banget, kan? Itu karna mama punya bahasa cinta berupa kalimat atau kata-kata penuh pujian yang diterimanya,"
"Begitu?" Terlihat kerutan di dahinya, menandakan bahwa ia masih harus berpikir keras agar paham. "Kalau kamu sendiri, paling suka diperlakukan seperti apa sama orang-orang di sekitar kamu?"
"Aku lebih suka quality time, Pah," jawabnya. "Seharian sama orang yang aku sayang walaupun ngga ngelakuin apapun. Seneng aja rasanya bisa nikmatin waktu sama-sama. Karena dengan begitu pasti kita punya banyak momen buat nanti bisa di inget,"
"Contohnya kaya yang lagi kita lakuin sekarang?"
Perempuan ini tersenyum penuh, "Hng, makasih Pah, selalu luangin waktu buat nemein aku jalan-jalan sore. Aku bahagia buat ini."
Mendengar itu, entah kenapa hati Habin terasa mencelos. Tentu saja ia tidak buta akan fakta yang sedang dialami oleh anak perempuannya. Walaupun ia tidak bertanya secara terang-terangan soal masalah rumah tangga anaknya, tapi ia paham betul situasi seperti apa yang sedang terjadi diantara Sephora dan Sagion.
Ke-tidak hadiran Sagion selama putrinya di rawat merupakan jawaban yang teramat jelas bagi lelaki berusia setengah abad ini. Sagion memang pernah menjenguk Sephora, itu pun hanya di hari pertama perempuan itu masuk rumah sakit. Selebihnya? Hanya melalui panggilan telepon saja. Jika mampir pun, Sagion tidak akan menetap lebih dari 10 menit.
Kendati demikian, Habin tidak ingin menyinggung masalah tersebut dengan bertanya kepada Sephora secara langsung. Ia cukup memastikan putrinya akan baik-baik saja. Ia baru akan bertanya saat Sephora sudah lebih dulu membahas hal tersebut kepadanya maupun istrinya. Walaupun jauh di lubuk hatinya, ia merasakan sakit yang teramat perih.