Sagion kini mendudukkan tubuhnya pada kursi di sisi ranjang. Kemeja putihnya tampak tergulung di bagian lengan dengan beberapa kancing yang terbuka di atasnya sehingga tak menyesakkan leher. Lelaki itu masih setia menemani istrinya yang tertidur setelah satu jam sebelumnya siuman dari pingsan.
Sephora masih syok, sehingga Sagion tak segera membawanya pulang melainkan membiarkannya untuk mendapat perawatan di rumah sakit.
"Maaf.."
Entah berapa kali ia merapalkan permohonan maafnya sembari menelisik lamat-lamat wajah perempuan yang damai pada tidurnya. Pikirannya kembali menarik dirinya saat kejadian Sephora kecelakaan; yang mana ia tidak bisa hadir hanya untuk sekedar menemani. Sagion tentu menyesal.
Bisa dibilang, ini adalah kali pertama ia bisa menatap lebih lama wajah Sephora yang entah kenapa begitu menarik perhatiannya. Iya, Sagion akui jika Sephora bukan sekedar cantik hatinya melainkan fisiknya juga. Ia tak menampik satu fakta tersebut. Bukankah sejak kecil pun Sephora memang sudah menarik perhatiannya? Ey, ayolah.
Sepasang matanya beralih pada kening yang nampak mengernyit padahal matanya masih tertutup rapat. Ia tau perempuan itu pasti amat sangat ketakutan; akibat kejadian barusan, bahkan di sela-sela tidurnya. Hal tersebut membuat refleks tangannya menyentuh anak-anak rambut Sephora di sekitar pelipis, ia sentuh perlahan agar tidak terbangun.
Sagion perhatikan lamat-lamat; bulu mata lentik, hidung kecil, bibir ranum, kulit yang sedikit pucat, yang entah kenapa membuatnya ingin menyentuhnya satu per satu.
Tapi setelah melihat guratan memerah yang menjalar di leher akibat cekikan perempuan gila itu, hati Sagion merasa mencelos.
"Sephora, ayo kita perbaiki semuanya. Aku rela ngelakuin apapun asalkan kamu mau maafin semua kesalahan aku."
~~~
Surai hitam perempuan itu melambai-lambai terkena embusan angin malam di bawah cahaya bulan temaram. Kurang lebih sepuluh menit ia habiskan hanya dengan adegan yang sama; berdiri pada sisi pembatas balkon kamarnya dengan balutan baju hangat.
Berbagai asumsi acak terus melintas di benaknya, bertanya-tanya mengapa kejadian menakutkan seperti tadi bisa terjadi pada hidupnya? Ia tak suka mencari perkara dengan orang lain. Tapi sekalinya terlibat, hidup dan matinya benar-benar menjadi taruhan.
"Masuk, angin malamnya mulai dingin."
Sephora pun berbalik saat mendengar ujaran tersebut. Matanya langsung mendapati seorang lelaki dengan balutan kaos hitam tengah menjatuhkan atensi kepadanya.
"We need to talk, Sagion," katanya.
"Perihal apa? Bukannya aku udah bilang jangan bawa mobil sendiri apalagi pergi tanpa izin?"
"No, bukan soal itu."
"Terus?"
"Tolong kasih tau aku semuanya. Tentang Natania, kematian ibunya, juga diri kamu. We will stay together. Kamu sendiri yang bilang begitu, bukan?"
Entah kenapa tapi pandangan lelaki itu nampak gelisah di dominasi raut kecewa bercampur amarah. Siapapun yang melihatnya pasti akan tau jika ia tengah berada pada ambang ke-putusasaan.
"Am I worthy to be your husband, Sephora? Selama pernikahan kita aku ngga pernah nempatin posisi aku sebagai suami. Maybe I don't deserve to be loved."
Mendengar itu Sephora kemudian sengaja mempersempit ruang di antara mereka. Raut wajah Sagion yang masih sama membuat Sephora menarik sudut bibirnya, tersenyum.