Love - p2

209 27 2
                                    

***

Tidak terasa sudah hampir seminggu Bethari Achara menjadi peserta pelatihan di Orion Hotel. Terima kasih kepada otak encernya yang membuat ia bisa terpilih untuk berada disini. Suatu kebanggaan. Ini adalah kesempatan emas yang tidak akan ia sia-siakan. Walaupun dirinya dan satu sahabat baiknya, Jane Chaow berpisah tapi Bethari sangat senang dan betah ditempatkan di departemen ini karena para karyawan hotel yang ramah dan juga baik kepadanya. Ia sudah belajar banyak hal belakangan ini dari para senior. Belum ada keluhan berarti yang dirasakan Bethari sampai sekarang kecuali rasa lelah. Masuk dari hari Senin sampai Jumat, mulai pukul delapan pagi sampai enam sore. Itu juga biasa dirasakan oleh para pekerja lainnya di dunia ini. Setiap orang punya rasa lelahnya masing-masing. Dan Bethari cukup beruntung dalam hal ini dan semakin membuatnya semangat belajar dan bekerja dengan keras untuk mencapai cita-citanya.

*

"Apa?! Apa kau sudah gila?!" desis pria yang baru saja turun dari mobil Audi R8 hitamnya. Ia memberikan kunci mobilnya itu pada petugas keamanan. Wajahnya dingin tidak bersahabat. Tanpa membalas salam dari beberapa karyawan yang berlalu lalang, dengan langkah panjang ia langsung masuk ke dalam lift. "Dengar, aku juga tidak main-main denganmu!" mulutnya tidak berhenti mengomel membuat dua ibu-ibu yang berada satu lift dengannya saling lirik tapi pria itu tidak peduli. Rahangnya semakin keras setiap kali mendengar jawaban menantang dari seorang wanita di seberang telepon.

Pria itu keluar dari lift dan berjalan cepat menuju lorong tempat tujuannya. Karena terlalu sibuk dengan ponsel di telinga kirinya itu, ia tidak sengaja menabrak seorang office boy yang sedang mengepel lantai. Tidak dapat dihindari lagi, keduanya yang tidak melihat kedatangan satu sama lain itu pun terjatuh di lantai ubin dengan kuat dan juga basah.

"Arghh!" ia meringis sakit. Matanya terpejam dan telentang dilantai. Ponsel di tangannya terlepas sementara percikan air dipel mengenai wajahnya. "Apa-apaan ini! Apa kau buta?! Lihat apa yang sudah kau lakukan!" ia duduk sambil mengusap kasar air kotor dari wajahnya. Dengan benci ia menolak uluran tangan si pekerja yang juga sedang kesakitan, ingin membantunya. Pria itu berdiri sendiri lalu membenarkan jaket kulit yang dipakainya.

"Sial! Sial!" ia tidak berhenti berkata kasar sementara pekerja malang itu mengembalikan ponselnya yang sudah mati dan terus membungkuk meminta maaf. Pria itu mengambil ponsel dari tangannya tidak kalah kasar. Nafasnya memburu dan menatap marah. "Kau—"

Bethari yang kebetulan sedang berada di lorong yang sama ikut meringis sakit saat melihat tabrakan antara tubuh itu seakan dirinya yang mengalami. Suara jatuh itu cukup menakutkan. Bethari semakin terkejut saat mendengar bagaimana suara kesal pria tinggi itu menggema memarahi pekerja yang malang. Bethari yang melihat kejadiannya dari awal tidak bisa tinggal diam saja. Jiwa penolongnya terpanggil. Ia berlari ke arah keduanya dengan cepat.

"Kau benar-benar—"

"Maaf sebelumnya, Tuan." Bethari memberanikan diri untuk membela. Suara dan kedatangannya mengagetkan kedua pria itu. "Aku rasa sikapmu ini sudah berlebihan. Dia sudah meminta maaf. Lagipula kau jatuh karena salahmu sendiri."

"Apa—" pria kaget itu bingung.

"Biar aku jelaskan." potongnya. "Aku adalah saksi satu-satunya disini. Aku melihat kau sibuk dengan ponselmu sampai kau tidak melihat jalan dan orang yang ada di depanmu. Jadi ini bukan kesalahannya." Bethari menunjuk pemuda yang masih tertunduk merasa bersalah itu. "Aku tau dia. Dia bekerja dengan baik dan selalu hati-hati."

"Jadi kau pikir semua ini salahku?" ia bersuara. "Ingin menjadi pahlawan, hah, rupanya? Siapa kau? Apa kau baru disini?" kesalnya. Ia kemudian melihat tanda pengenal yang tergantung di leher gadis itu dan tertawa kecil merendahkan. "Aaah pantas saja. Peserta pelatihan?" ia mengangguk mengerti sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong celana jins hitamnya. Membuatnya terlihat semakin angkuh dan sombong. Bethari tidak suka padanya. "Aku bertaruh kalau kau tidak takut padaku, benar 'kan?" ia melirik Bethari dari atas sampai bawah bergantian. Tatapan menghakimi itu sedikit membuat nyali Bethari ciut seketika tapi ia melakukan hal yang benar jadi ia tidak akan menyerah. Kebenaran sekecil apapun harus ditegakkan!

Love Hurt Love Heal [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang