Love - p17

106 23 4
                                    

***

"Hujan lagi." gumam Bethari. Matanya menatap biasa ke arah tiang lampu di seberang jalan. Musim penghujan bisa dipastikan sudah dimulai dan untuk pertama kali Bethari tidak bersemangat menyambutnya. Bagaimana bisa? Sekarang pikirannya selalu tertuju pada satu pria di cuaca yang basah dan dingin ini. Ia juga sempat berharap jika hujan tidak turun dulu sepanjang bulan. Ada-ada saja. Bethari mendesah pelan dan menutup rapat tirai jendela kamarnya.

Drtdtt drrdtd...

Di atas meja belajar, Bethari melihat layar ponselnya yang menyala. Dahinya mengernyit, sedikit tidak biasa ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal malam-malam begini. Ragu tapi kemudian Bethari menerimanya. Mungkin penting.

"Halo?" jawabnya pelan sambil duduk di tepi ranjang.

"Hei, ini aku, Fynn." suara berat itu memang terdengar seperti Fynn. Bethari mengerjap kaget.

"Fynn?"

"Iya. Apa aku mengganggu?" Fynn melihat jam dindingnya. Tepat pukul sembilan malam.

"Oh tidak tidak..." sadar Bethari. Matanya masih mengerjap tidak mengira tapi kemudian ia bersikap sesantai mungkin. "Bagaimana kau mendapatkan nomorku?"

"Itu rahasia." jawab Fynn singkat. Bethari bisa melihat senyum miring itu di sana sekarang. Tentu Fynn bisa melakukan apa saja yang ia mau. Mendapatkan nomor satu perempuan, itu hal yang mudah untuknya.

"Jadi—"

"Sekarang hujan. Aku tidak tau harus melakukan apa untuk mengalihkan perhatianku." Fynn menyentuh telinga kanannya. Ia terdengar seperti remaja yang merengek bosan terkurung di kamarnya sendirian. Dari sekian banyak nomor kontak di ponselnya, kenapa lagi-lagi Bethari. Fynn tidak mengerti dengan suasana hatinya. Ia bisa saja menghubungi Mark atau Praba. Bermain gim atau mendengarkan musik seperti biasanya. Bethari mengangguk mengerti mendengar alasan itu. Ia bisa merasakan kebosanan Fynn.

"Kau sudah minum obat?" tanyanya. Perhatian Bethari membuat dada Fynn menghangat seketika. Rasa cemas itu menghilang sedikit demi sedikit. Ternyata menelpon Bethari tidak ada ruginya.

Sampai sekarang, Bethari memang belum tau pasti alasan Fynn yang tidak suka dengan hujan. Ada cerita apa dibalik itu semua, mengingat reaksi Fynn yang kambuh sangatlah diluar dugaan. Begitu kecil dan rapuh, sama sekali tidak cocok dengan sosok alpha yang disandangnya. Sebagai sahabat baru, Bethari tidak mau memaksa Fynn untuk bercerita, menuntutnya untuk terbuka. Mereka mulai dekat setelah hari itu dan lebih baik jangan mengacaukannya.

"Sudah. Tapi aku masih tidak bisa tidur." Fynn berbaring menatap langit kamarnya sambil mengatur volume headset. Mencoba meredam suara hujan dengan suara Bethari. Fokus hanya pada wanitanya. "Tapi kita bisa bicara 'kan?"

"Tentu saja." Bethari mengangguk seakan Fynn ada didepannya. Ini adalah telepon pertama mereka lalu apa yang harus di bicarakan? Soal pelatihannya di Orion Hotel? Tidak mungkin 'kan. Bethari tiba-tiba gugup sambil menggigit bibir bawahnya. Canggung. Ia memikirkan topik ringan untuk basa-basi.

"Kakak!"

"Ya Tuhan." kaget, Bethari mengusap dada.

"Itu Richie?" tanya Fynn tidak yakin.

"Hmn, dia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya di bawah. Kenapa dia berteriak seperti itu?" Bethari cukup kesal. Ia hampir jatuh dari ranjang karenanya.

"Oooh kaakaaaak!"

"Iya sebentar!" teriak balik Bethari sambil menjauhkan ponselnya tapi Fynn masih bisa mendengar dan hanya tertawa kecil. "Maaf, Fynn. Dia sangat berisik."

Love Hurt Love Heal [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang