2. Janji Liburan

59 11 37
                                    

<<o0o>>

Minggu-minggu belakangan ini berjalan lancar-lancar saja, curiga Allah bakal kasih suprise.

"Sa."

Kayaknya aku kenal benget sama suara ini. Aku membalikkan badan, menatap pintu rumah yang terbuka, cahaya dari matahari diluar masuk. Rasanya pintu tadi ditutup, deh.

Aku tak mau ambil pusing, kembali fokus pada buku harianku yang mulai menipis. Kalian tau? Aku punya kebiasaan sejak beberapa tahun belakangan ini, kebiasaan aneh tapi menyenangkan. Aku menulis surat, isinya didominasi tentang rindu, tapi aku juga tak mengerti mengapa harus perasaan itu yang lebih sering aku tulis.

"DUAR!"

"ASTAGHFIRULLAH!! RIKI! BISA GAK SIH, KALO BERTAMU ITU SALAM BUKAN, 'DUAR'!" Latahku sembari memarahi Riki.

Kata Abang, umurku dengan Riki itu tak beda jauh, hanya berbeda beberapa bulan saja dan aku yang lahir pertama. Aku tak percaya, sih. Karena Riki lebih tinggi! Aku tak terima, kalau aku yang lahir pertama, harusnya aku lebih tinggi dari Riki! Gak adil.

"Iya, assalamu'alaikum. Mabar yuk!"

Aku mendengus kesal. Riki justru sudah duduk di sisi sofa yang kosong, memegang HP nya semangat.

"Gak dulu," jawabku acuh. Enak saja, sudah mengganggu sekarang mau mengajakku bermain? Berani bayar berapa dia?

"Gue teraktir siomay."

"Gas aja kata Yisa, teh. Ayok mau main apa?"

Kalau bayarannya makanan sih, aku tak bisa menolak. Lagipula, manusia aneh mana yang menolak tawaran paling menguntungkan di dunia seperti ini?

"Giliran makanan aja, lo manut sama gue." Riki berpindah duduk di sebelahku. Menatap buku harian yang masih ada dipangkuanku lamat-lamat.

"Nulis apa lo?" Tangan Riki terjulur berusaha mengambil buku itu dariku.

"Berhenti!" Aku dengan cepat menyembunyikan buku itu dibalik punggungku.

"Kenapa sih? Penting benget?" Riki menatapku kesal. Woy! Harusnya aku yang kesal, kan? Ini bukuku, bukan miliknya. Dan gak ada yang boleh baca isinya selain aku dan Allah yang tau! Riki? Skip.

"Ini? Kalo kata Mark Lee, privasi jigeum.."

Riki itu sepupunya Teh Aza, dan temen mainnya Abang. Riki sering banget mampir ke rumah cuman buat ngajak mabar si Abang. Tapi kayaknya sekarang Riki gabut banget, Abang ada jam kuliah pagi, harusnya jam segini udah pulang, sih.

"Sama aja kayak Teh Aza." Riki bergumam lalu kembali fokus pada HP digenggamannya. Loh? Gak jadi mabar kah ini?

"Gak jadi main barengnya? Yisa mau kok, Rik!" Tanyaku semangat dengan mata penuh binar.

"Enggak lah, gak mood gue." Riki mendengus pelan lalu menjauh lagi.

Aku mendekankat dudukku ke arah Riki. Menatapnya sungguh-sungguh. "Aku gak bohong loh, aku mau!" Mau siomay :)

"Mau siomay, kan? Beli aja sendiri. Jauh-jauh lo, gue lagi bad mood banget!"

Wow, Riki cenayang? Ini harus masuk hot news keluarga besar sih. Tapi, kalau dilihat-lihat, yang harusnya bad mood kan, aku. Kok malah Riki sih!? Kayak perempuan lagi PMS aja.

"Putus ya?" Tanyaku berusaha peduli. Siapa tau, teman tinggiku satu ini butuh pendengar yang baik, rajin menabung dan tidak sombong.

"Gak punya gue."

"Kasian gak laku.." Aku bergumam pelan lalu menjauh. Padahal tampang si Riki udah oke, sikapnya lima persepuluh. Harusnya banyak yang naksir.

"Bukannya gak ada yang naksir, tapi gue gak minat."

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang