10. Tak Sedekat Itu

21 7 18
                                    

<<o0o>>

“Pulang?” Yisa menyeringitkan keningnya, “Pulang kemana?” Ia bergumam pelan, tak ingin menatap wajah orang di depannya.

“Oh, bentar lagi, Kak. Abang Yisa mau jemput, nih baru kabarin.” Yisa menunjukkan layar ponsel yang terdapat pesan menggantung dari salah satu aplikasi.

“Bukan itu yang gue maksud, Ra.” Hilal menyandarkan punggungnya, tersenyum tipis.

“Kak, bisa gak sih berhenti panggil Yisa pake nama itu? Yisa bukan orang yang Kakak maksud, dan stop sok kenal sama Yisa kalo emang kita gak pernah ketemu.”

Sudah lama ia ingin mengatakan ini, bahkan ia bingung ingin mengatakannya pada siapa, atau ia harus bicara pada dirinya sendiri? Siapa nama yang terus berputar dalam kepalanya?

“Kita pernah ketemu, dan lo ngelupain itu.” Hilal mulai serius dengan ucapannya, mungkin ini adalah kesempatan untuknya bicara jujur. Hilal mendekatkan wajahnya pada Yisa di sebrang meja.

“Karang, itu nama lo.” Bisik Hilal tetap tenang.

Yisa terdiam, itu bukan namanya. Sungguh, berapa kalipun nama itu berputar dan mengganggu di dalam kepalanya, itu bukan namanya.

“Siapa sih, Karang itu? Bahkan baru pertama kali Yisa denger namanya! udah berapa kali Yisa bilang, Yisa bukan orang yang Kakak maksud! Kenapa Kakak keras kepala!” Gadis itu mulai kehilangan kontrol, benar, sekali nama itu di sebut dari bibir Hilal, itu membuat kepalanya berputar. Kacau.

“Kita baru ketemu Kak, baiknya jangan buat kesan pertama Kakak buruk.” Yisa mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja, membawanya pergi keluar kafe.

Gadis itu sungguh kesal, entah karena Hilal yang menyudutkan dirinya, atau karena suara-suara itu kembali mengganggunya.

“Gak ada yang bisa benci sama kamu.”

“Gak ada yang boleh benci sama kamu.”

“Gak suka liat kamu kesakitan.”

“Bukan sepenuhnya salah kamu.”

“Siapa sih, kamu?” Gumamnya sembari berjongkok tak jauh dari kafe, menatap jalanan jakarta yang padat. Trotoar siang ini sepi.

Kepalanya ramai, terlalu bising. Yisa merapatkan lututnya, menunduk menatap pasir-pasir halus yang ada di trotoar tempatnya berjongkok.

“Kok lo nunggunya di luar, Sa? Si Aman, Aman itu mana?” Tanya sosok yang berhenti tepat di depannya, masih setia duduk di atas motor.

“Gak tau.” Balas gadis itu dengan suara bergetar. Sungguh, mendengar suara Haris saja ia ingin berterima kasih, kalau tidak, bisa saja suara-suara itu terus-menerus mengganggunya.

“Lo kenapa? Gue kelamaan? Sorry….” Haris turun dari motornya, ikut berjongkok di samping adiknya, menepuk pelan pucuk kepala yang berbalut kain kerudung berwarna hitam itu pelan.

Melihat mata adiknya yang berkaca-kaca itu membuatnya mengurungkan niat untuk mengomel panjang lebar.

“Maaf deh, gak lagi-lagi gue ninggalin lo. Cengeng banget sih, katanya udah gede.” Haris terkekeh, tapi bukannya bersuara, adik disampingnya itu justru semakin terisak.

“Loh! Lo kenapa, Sa!? Kok malah kejer!?” Haris menatap sekitar mereka, takut-takut orang-orang mengira dirinya sedang memalak perempuan di pinggir jalan. Mengingat pakaiannya siang ini mirip sekali dengan pakaian ketua geng motor.

“Mau pulang…,” Yisa mendongakkan kepalanya, menatap mata Haris dalam, “Abang, ayo pulang.”

“Aish, iya-iya, yok pulang yok!” Haris dengan cepat bangkit dari posisinya diikuti Yisa. “Cengengnya anak Mama, ululuuu… pulang-pulang makan-makan yuk!” Haris menepuk-nepuk bahu adiknya.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang