8. Berusaha Untuk terbiasa

19 8 21
                                    

<<o0o>>

Aman POV

Hari ini, sesuai janjiku pada Yisa, kami memutuskan untuk bertemu. Meski aku tahu, aku tak akan leluasa berbicara bersamanya, karena ia pasti datang bersama Kakaknya.

Ah, sepertinya akan menyenangkan bila aku bercerita hari ini.

Tiga tahun lalu, saat aku dan Ibu berusaha untuk terbiasa tanpa kehadiran Karang di hidup kami.

***

Setelah kepulangan Karang hari itu, semuanya berjalan tak teratur. Meski begitu, aku jadi lebih khawatir dengan kondisi Ibu. Mendengar kabarnya saja Ibu langsung pingsan.

Setelahnya kita semua hidup dengan saling menyembunyikan kesedihan masing-masing. Seolah lupa apa yang sudah pergi.

"Man, tolong ambilin buku harian Ibu."

Aku segera bangkit dari duduk dan mengambilkan buku Ibu diatas meja rumah sakit. Sejak Karang pulang, sakit Ibu semakin parah, aku meminta Ibu tetap berada dirumah sakit, setidaknya sampai kesehatan Ibu membaik.

Sejak kepulangan Karang, Ibu lebih sering menulis di buku. Sudah menjadi kebiasaan satu bulan terakhir ini.

Ibu bilang, 'Aman bisa baca setelah Ibu pulang.' Yah, aku sebenarnya penasaran dengan isinya, tapi, biarkan isinya hanya Ibu dan Allah yang tau. Aku ingin kita segera pulang, kembali melakukan aktivitas seperti biasa.

"Aman, jangan pernah marah sama siapapun, ya?" Ibu mengelus tanganku lembut.

Aku bingung, untuk apa aku marah? Apa alasan aku marah? Siapa yang akan aku marahi?

Kalian harus tahu, semenjak Karang pulang, Ibu sering berbicara tentang hal yang tak aku mengerti sedikitpun.

"Karang. Jangan pernah marah sama masa lalunya." Ibu menaruh buku yang sebelumnya dimunta di atas nakas. Sorot matanya sendu, wajahnya semakin tirus. Semakin lama, Ibu semakin berbeda.

"Masa lalu? Maksud Ibu apa?" Aku semakin bingung. Ibu menghembuskan napas lelah, aku tau, Ibu menyudahi pembicaraan ini.

"Man, Ibu mau istirahat. Lain kali, kita omongin lagi." Ibu berhenti mengelus tanganku, kembali ke posisi berbaring dan memunggungiku.

Karang, kamu sedang apa sekarang? Kakakmu ini sedang menemani Ibu sembari terus memikirkanmu.

Mari terus terbiasa Aman.

Aku pergi meninggalkan ruangan Ibu, duduk diluar rumah sakit. Melamun.

Kalau saja aku tak memaksa Karang untuk pulang, pasti saat ini aku sedang meneleponnya, bercanda dan melakukan hal-hal menyenangkan walau harus terhalang jarak. Itu bahkan lebih baik dari saat ini, bukan?

Lupakan, Aman. Mulailah terbiasa.

Mengingat ucapan dokter beberapa hari lalu, minggu ini Ibu sudah bisa pulang. Kabar baik, bukan?

Hei Karang, kau sedang apa? Kakakmu ini seketika kembali menguatkan hatinya karenamu.

Aku kembali ke ruang inap Ibu, meminta uzin untuk pergi sebentar dari rumah sakit. Ibu sudah hapal sekali rutinitasku sejak kau pulang, Karang.

Sebentar lagi pukul lima sore, lihat, tak ada lagi yang akan memarahi kita kalau kita pulang terlambat, Ra.

Aku menaiki angkutan umum, menuju pantai tempat biasa kita bermain dulu. Kamu pasti senang melihatku bukan? Kakakmu ini sudah melakukannya setiap hari sejak kepulanganmu.

Mungkin, aku juga menyukai langitmu itu. Disaat dunia terasa tidak baik-baik saja, bukankah hanya langit yang terus indah dengan berbagai cuacanya. Langit tau bagaimana menghibur hati. Sama seperti dirimu saat menghibur Kakakmu ini, hahaha.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang