11. Pengecut

18 7 24
                                    

<<o0o>>

Semua sudah pulang, kembali ke rumah masing-masing. Tersisa Haris juga Yisa yang sedang duduk memakan beberapa kue-kue ringan sisa perayaan siang ini.

“Mau VC sama Mama, gak?” Tanya Haris saat melihat adiknya tengah memakan krim kue sisa acara sebelumnya.

“Iya!” Yisa dengan cepat mendekatkan dirinya pada Haris, membenarkan kerudungnya juga tersenyum lebar.

“MAMA, PAPA!!” Yisa berteriak kencang kala melihat layar ponsel menyala, memperlihatkan dua orang tuanya tengah duduk bersantai disalah satu sofa.

“Yisa kangen banget sama Mama! Padahal kayaknya baru kemarin Papa sama Mama pulang, ehh langsung pergi lagi.” Gadis itu sedikit memancungkan bibirnya. Sungguh sebenarnya ia merasa kecewa, kenapa kedua orang tuanya tak menyempatkan waktu untuk datang? Atau sekedar menitipkan ucapan selamat?

“Maaf ya, sayang… Papa ada pertemuan mendadak sama temen Papa, ada yang harus cepet di urus, dua hari lagi Papa sama Mama pasti pulang.” Jelas Papa dengan raut sedikit sedih, Mama di sebelahnya mengangguk mengiyakan.

“Yisa mau hadiah apa, hm? Nanti biar Mama urus di sini.” Mama mulai mengalihkan topik, terlalu lama membahas pekerjaan di depan anak gadisnya itu hanya akan membuat suasananya dengan anak tertuanya justru memburuk.

“Gak ada, Yisa cuman mau punya family time sama keluarga Yisa… sekali-kali liburan bareng sama Mama, Papa kayaknya asik, iya gak?” Yisa terkekeh sembari mengambil kue kering yang masih tersisa banyak diatas meja.

Haris tetap diam, memperhatikan pembicaraan tanpa menyela adiknya yang tengah bicara. Ini hari khusus Yisa, ia berhak meminta apapun.

“Liburan? Kemana, sayang?” Tanya Mama sembari memasang ekspresi bertanya-tanya, beberapa tempat wahana terpikirkan olehnya.

“Liburan sama Riki, Teh Aza dan dan daaan Abang kemarin gak buruk loh, Maaa! Ke pan–uhukh!” Yisa menjawab cepat, padahal mulutnya tengah penuh dengan kue.

“Kalo lagi makan jangan ngomong! Kesedek kan!? Udah gede masih aja kayak bocil.” Haris mengomel sebentar, dan segera mengambil air minum yang ada di atas meja.

“Makasih… hehe, habis tadi emang seru, kan? Liburan bareng, sekeluarga!” Yisa segera meminum air putih yang diberikan Haris.

“Yisa mau punya guru les baru?” Celetuk Papa yang sebelumnya diam.

“Hah? Oh, boleh-boleh… tapi les apa?” Gadis itu tampak berpikir sejenak, sudah banyak hal yang ia coba beberapa tahun terakhir, guru lesnya sudah banyak berganti. Gadis itu sudah banyak belajar, meski tak mengambil sekolah formal.

“Gimana kalo coba main piano, sayang?” Mama memberi pendapat, mengingat anak gadisnya menyukai permainan musik itu.

“Boleh tuh, Ma. Papa ada kenalan yang bisa ngajarin, rumahnya gak jauh kok, bisalah itu buat ngajarin Yisa main piano.” Papa ikut menimpali.

“Gitar aja, Haris juga punya temen yang bisa main gitar.” Haris menyela, ikut memberikan pendapat.

“Jangan bilang temennya Abang itu, Bang Jojo?” Yisa terkekeh, mengelap ujung matanya yang berair, ini terlalu lucu bila membayangkan sosok Jordan akan mengajarinya bermain gitar.

“Iyalah siapa lagi?” Haris menatap sinis adiknya.

“Jadi ini mau yang mana? Gitar apa piano, sayang? Mama sama Papa ngikut kamu aja.” Mama kembali bertanya. Mana yang akan Yisa pilih? Pilihan Orang tuanya atau Haris Abangnya?

“Abang, kayaknya piano aja, ya? Main gitarnya bisa kapan-kapan.” Yisa dengan cepat mengambil keputusan.

“Ya terserah elu, kan yang dapet hadiah itu bukan gue, lagian nanti yang belajar juga bukan gue… jangan terpengaruh sama kehadiran gue. Jangan mikir klo gue gak bakal suka sama pilihan lu, Sa. Pilihan itu ada di lo.” Haris menjawab acuh, yang ia ucapkan benar, tak ada bedanya antara pilihannya dan pilihan kedua orang tuanya.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang