3. Bukan Anak Kecil Lagi

35 10 22
                                    

<<o0o>>

Untunglah demam Abang kemarin tak parah, sepertinya memang kelelahan. Seharusnya aku juga tidak menggangu. Mama dan Papa lambat pulang semalam, jadi aku menemani Abang sapai aku ikut tertidur di kamarnya, tapi bangun-bangun aku sudah ada di kamarku.

"Abang gak kuliah?" Tanyaku pagi ini kala mendapati Abang sedang duduk di depan TV sembari memakan cemilan.

"Kagak," aku menangguk. Tak lagi ingin Mengganggu. "Yisa, duduk sini." Aku segera berbalik, menatap aneh Abang yang menepuk-nepuk bagian sofa yang kosong. Dari pada mencari masalah, lebih baik aku menurut, lagi pula, Abang tak akan menggigitku, kan?

"Mau apa? Mau dibuatin teh?" Tanyaku sembari duduk disebelah Abang. Jarang-jarang Abang memintaku duduk disebelahnya, biasanya aku sudah didorong untuk menjauh, seperti orang alergi.

"Enggak, gue mau ngomong soal kemarin." Abang masih fokus menatap TV, mengganti saluran berkali-kali, sebenarnya, apa yang ia cari di sana?

Aku mengangguk, sudahlah, kalau memang tak bisa, ya sudah. Biarkan saja. Lagi pula, sudah berangkat hari ini, kan? Mau Abang tiba-tiba mengizinkan pun, percuma.

"Ke pantai kemarin di undur, kata Bang Sultan, biar semuanya bisa ikut. Besok kita semua berangkat, tapi Mama sama Papa gak bisa, soalnya ada kerjaan."

Serius? Aku harus berterima kasih pada Bang Tan-Tan setelah ini. Dengan cepat aku mengepalkan tangan dan meninju udara semangat.

"Tapi ada syaratnya," Abang menatapku datar, loh, apa lagi sih? Kayaknya susah banget buat hirup udara segar tanpa hambatan, kayak ada pajaknya aja.

"Apa?" Tanyaku lesu.

"Lu jangan jauh-jauh dari gue, ntar lu ilang lagi. Sebenernya sih, gue gak masalah kalo lu ilang, beban idup gue langsung angus. Tapi, ntar gue kena amuk Mama sama Papa, bahaya. Apalagi, Mama sama Papa lebih sayang sama lu." Abang kembali memakan cemilan di dalam toples yang ia pegang. Berhenti pada siaran yang menayangkan kartun si kembar tanpa rambut kesukaan semua usia.

"Iya. Tapi Yisa bukan anak kecil!" Marahku sembari merebut toples camilan dari abang dan memakannya kesal.

"Tapi lu kayak bocil. Minimal dewasa, gak jadi beban." Abang merebut toples camilan itu dariku, ikut memakannya sembari sedikit tertawa, hampir saja tersedak.

"Emang Yisa beban? Gak tau ah! Yisa marah sama Abang! Kesel!" Aku bangkit dari duduk, merebut toples cemilan itu paksa dan berlari menuju kamar.

"BERCANDA SA! ELAH, GUE BERCANDA AIH!"

Aku tak peduli, meski Abang dibelakangku sedang mengekoriku. Segera kututup rapat-rapat pintu kamarku, suaranya terdengar cukup keras karena aku membantingnya. Sedikit.

"SA BUKA PINTUNYA, AIH!! GUE BERCANDA DOANG! SERIUS! YISAA! BUKA DONG!" Abang mengetuk pintu keras. Aku masih marah. "GUE BAKAL TETEP DISINI SAMPAI LO MAU BUKA PINTUNYA BUAT GUE! DAN BESOK LO HARUS TETEP BERADA DALAM PENGAWASAN GUE!"

"EMANG SITU SIAPA NGATUR-NGATUR!?" Aku berteriak keras diatas kasur. Rasa marahku masih ada, enak saja mau dimaafkan.

"GUE!? G-gue.." Suara Abang bisa terdengar, aku masih menunggu. Ah, buat apa? Aku kan, sedang marah dengan si monster dinosaurus cabang Jupiter satu itu. Kira-kira kapan aku menemukan malaikat baik cabang Pluto? Walaupun Pluto sudah tidak diakui sebagai planet, setidaknya dia ada, kan?

"GUE ABANG LO! PUAS LO!? YISA BUKA PINTUNYA, AIH! GUE MINTA MAAF, TADI BERCANDA DOANG!" Abang masih setia mngetuk-ngetuk pintu seperti orang yang sedang dalam panggilan alam, hey.. kamar mandi kan, juga ada di kamarnya, mengapa harus di kamarku?

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang