17. Tak Pernah Lupa

15 7 15
                                    

<<o0o>>

“Jangan lupain Kakak.”

“Karang, pulang!”

“Karang, ayo pulang….”

“Kakak pikir kamu lupa sama Kakak.”

“Pulang, Ra! Kakak kangen!”

Suara itu kembali terdengar, semakin terasa nyata seiring derasnya hujan diluar sana. Apa yang telah ia lupakan? Apa yang telah ia tinggalkan? Pertanyaan itu terus mengalun dalam kepalanya bersama suara-suara yang mengganggu itu.

“YISA PASTI BISA! YISA GAK BOLEH TAKUT SAMA DIRI YISA SENDIRI!” Ucapnya lantang menghadap cermin besar yang ia taruh tepat di depan ruang bersantai.

Kilatan petir itu menyeruak masuk kedalam ruangan, cahaya bersama gemuruh itu sekejap membuat kepalanya semakin berdenyut nyilu.

Akh….” Gadis itu memegangi kepalanya, menatap pantulan dirinya di dalam cermin, mata hitam yang selalu menjadi favoriynya, tapi tidak ketika kepalanya mulai mengalunkan nama yang asing baginya. Mata itu sama asingnya dengan nama ‘Karang’.

“Lagi apa? Yuk masuk, dingin loh, Ra.” Bayangan seseorang yang seolah berada di ambang pintu kamarnya itu membuat dirinya menyeringitkan keningnya.

“Masuk yuk, dingin…..” Ajak orang itu lagi lebih lembut.

Bola mata Yisa membelalak terkejut, tiba-tiba saja tubuhnya terasa hangat, seolah ada yang baru saja memeluknya penuh rasa kasih.

“Gak ada yang bisa benci sama Karang, dan gak ada yang boleh benci sama Karang.” Orang itu menatap ke arah dirinya lembut.

“Karena Karang itu istimewa.”

Yisa diam dalam lamunannya, barusan itu hanya imajinasinya, ‘kan? Ia merasa tak pernah melakukannya, ia merasa tak ada satu orangpun yang pernah mengatakan itu padanya, bahkan Haris sekalipun.

“Tapi malem ini emang dingin, Yisa jadi pengen pulang….” Gumamnya sembari berjalan masuk ke dalam kamar, beranjak naik ke atas ranjang, tak memperdulikan bayangan siapa barusan, lalu mengambil selimut dan menutupi tubuhnya dengan itu.

Kepalanya memang masih terasa sakit, tapi ia paksakan untuk dibawa tidur. Biarkan ia istirahat untuk hari ini.

***

Pagi-pagi sekali ia sudah mendapatkan tamu, siapa lagi yang tahu tentang apartemennya ini? Riki jawabannya, pemuda itu pagi ini sudah datang denganpakaian rapinya, bertamu sepagi ini tanpa rasa malu sedikitpun.

“Ini jam 06:30 loh, Ki. Kamu pagi-pagi gini ngapain coba ke sini?” Tanya gadis itu menggerutu di dalam dapur.

Riki duduk di meja pantry, hanya melihat gadis itu sibuk memotong bawang.

“Gak papa, lagian ini apartemen gue yang bayar, ya… gue anggep rumah gue juga, lah. Masaknya rada banyakan, ya.” Pinta Riki lalu beralih masuk kedalam dapur tak lagi memperhatikan Yisa yang sibuk mondar-mandir.

“Biar apa minta Yisa masak banyak-banyak?” Tanya gadis itu.

“Ya buat gue lah, gue sarapan apa kalo lo gak masak? Buatin bekel juga dong, due kuliah pagi sampe siang nih, mana dosennya galak lagi.” Keluh Riki yang kini berdiri dibelakang Yisa.

“Iya-iya… lagian kenapa gak sarapan di rumah aja, sih?” Protes Yisa, tapi ia tak bisa menolak permintaan pemuda itu, Riki sudah banyak membantunya akhir-akhir ini.

“Lagi pengen aja, kemaren gue sarapan gak makan masakan lo, rasanya ada yang kurang.” Balas Riki seadanya.

“Kalo tiap hari Riki mau sarapan di sini, berarti Yisa harus minta uang bulanan ke Riki… di tambah uang bulanan tambahan karena masakin bekel Riki juga. Kayak Mama yang minta uang bulanan ke Papa.” Gadis itu tertawa pelan, lalu beralih menyalakan kompor dan menuangkan sedikit minyak.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang