20. Yisa-Ara

13 6 9
                                    

<<o0o>>

"Bang Hilal itu Kakaknya Yisa." Klarifikasi Riki di depan seluruh anggota keluarga juga teman-temannya.

"Tap-" Belum sempat Haris membantah, Riki sudah mengangkat tangannya, meminta semuanya untuk mendengar penjelasan darinya.

"Bang Haris diem dulu. Lo gak tau apa-apa, lo cuman tau sebatas nama Yisa." Riki membenarkan posisi duduknya, ia menatap seluruh mata yang jelas tertuju untuknya. "Kemarin Yisa mutusin buat datengin tamu, gue gak kenal siapa, tapi gue yakin, orang itu gak bohong soal omongannya. Namanya Hilal Putra Narendra. Kalian semua tau? Nama asli Yisa?" Tanya Riki memastikan, ia yakin semuanya baru pertama kali mendengar nama itu.

"Karang." Balas Khanza dengan suara bergetar, gadis itu meremat gamisnya kuat-kuat. Ia begitu yakin bahwa ia tak pernah melupakan siapa Karang. Lalu mengapa kini ada fakta lain mengenai sahabat lamanya itu? Ia bahkan tak tahu menahu siapa Hilal barusan.

"Kok, Teh Aza tau?" Selidik Riki. Pemuda itu tak ada saat Khanza berkata jujur mengenai Karang.

"Karang sahabat Aza, Iki... Aza gak mungkin lupa." Gadis itu menatap mata adik sepupunya tulus. "Iki lanjutin aja dulu ceritanya, biar nanti Aza terakhiran aja. Siapa tau Aza yang salah paham, mungkin Aza yang terlalu berharap."

"O-oke.... Jadi, kemarin dia dateng dan ceritain semuanya di depan gue sama Yisa. Yisa itu adeknya yang hilang, terus Bang Hilal bilang kalo Yisa... eeer...? Hm. Yisa di ambil sama keluarga lain? Gue gak ngerti jelasnya kayak apa, tapi dia bilang begitu. Pokoknya Bang Hilal juga kasih bukti foto mereka berdua pas masih kecil, dan gue yakin banget anak kecil yang ada di foto itu emang Yisa sama Bang Hilal." Riki mengedikkan bahunya acuh. Sebenranya ia sudah tak lagi memikirkan bagaimana kedepannya, toh, Yisa sudah menemukan keluarganya. Tak ada yang tertinggal.

"Tapi, Yisa itu...." Haris ragu melanjutkan bantahannya, ia merasa penjelasan dari Riki cukup akurat di banding dengan penjelasan Khanza beberapa minggu lalu. Mungkin saja sahabat Khanza benar-benar sudah tenggelam dan berpulang, berbeda dengan Yisa adiknya.

"Kenapa?" Tanya Riki. "Eh, Teh Aza ada salam dari Yisa buat Teteh! Iki lupa kasih tau tadi, sampe lupa gini. Kata Yisa Teteh siang ini bisa ketemuan? Di apartemen aja, Yisa lagi gak mau keluar, gak tau tuh, anak itu dari beberapa hari lalu keliatannya banyak pikiran." Jelas Riki, ia baru mengingat bahwa ia punya pesan yang harus ia sampaikan sesegera mungkin.

"Aza bisa, nanti Iki kirim alamatnya, ya. Biar Aza, Hanni, sama Marsha yang ke sana, hari ini Iki ada kelas siang." Jawab Khanza sembari mengingatkan.

"Oke! Semangat kuliah meski guru galak menyerang!" Pemuda itu mengepalkan tunjunya ke udara, bersemangat sekali. Siapa yang tidak bersemangat bila bekal makan siang nanti adalah nasi goreng khusus?

"Tapi wajar sih, kalo misal Yisa keliatan banyak pikiran. Gimana enggak, coba? Bayangin kalo lo semua ada di posisinya Yisa, dia pasti bingung, dia harus percaya sama siapa? Makanya mungkin dia juga minta pisah rumah sama lo, Ris." Celetuk Jordan sembari menatap Haris, semoga pemuda itu paham apa maksudnya.

Haris diam, dirinya dilanda banyak pikiran. Antara cerita mana yang harus ia percaya? Riki ataukah Khanza? Bagaimana bila ia melibatkan perasaan dalam memilih fakta? Ia tak mungkin mempercayai kalimat Khanza karena ia mencintai gadis itu, bukan? Itu bukan pilihan yang adil, mau bagaimanapun, ini menyangkut kehidupan juga masa depan Yisa adiknya.

"Lo paham maksud gue gak sih, Ris?" Tanya Jordan menyenggol lutut Haris yang terhalang oleh badang Juan.

"Hah?" Tanya Haris ke bingungan, sepertinya ia tak begitu mendengarkan percakapan setelahnya.

"Kata gue, mendingan lo sekarang temenin Yisa, sering-sering deh, lo ajak dia main, pergi ke tempat-tempat yang dia suka. Kasih perhatian lebih, buat dia nyaman sama lo. Dia lagi di masa yang gak bagus kalo lo ngajauh, dia tetep butuh sosok lo, mau gimanapun juga, Yisa butuh lo. Butuh Haris." Jelas Jordan.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang