19. Foto Usang dan Bunda

17 7 22
                                    

<<o0o>>

Sesuai dengan saran dari Haris kemarin, kini gadis itu sedang meminta seseorang untuk datang, untuk membantunya menjawab ketidak pastian dalam hidupnya.

“Riki, kalo nanti ternyata Yisa orang jahat gimana?” Tanya gadis itu ragu, ia meminta pemuda itu untuk menemaninya.

“Ya, gak tau.” Balas Riki acuh, sejujurnya pemuda ini pun tak mengerti, bagaimana dengan masa depan yang takdir bawakan nantinya.

“Kalo keluarga Yisa ternyata masih ada, Yisa harus apa? Yisa harus pilih siapa? Jadi diri Yisa atau… yang lain?” Gadis itu semakin takut kala menyadari beberapa menit lagu, mungkin saja tamunya akan datang.

Riki diam, ia tak bisa menjawabnya. Siapa dirinya? Siapa gadis yang kini bersamanya? Ia hanya mengenalnya dengan singkat, dengan nama panggilan sederhana, lalu apa berhak ia bicara? Mengatakan pendapatnya?

“Yisa takut. Takut diri Yisa yang sebenernya jelek, Yisa takut semua orang nanti jauhin Yisa. Yisa juga takut kalo Abang gak suka sama keputusan Yisa nantinya.” Gadis itu menunduk dalam, rasa takutnya membuat keberaniannya seolah menghilang.

“Denger ya, Sa. Lo harus berani, gue yakin! Lo di masa lalu itu cewek yang kuat! Lo gak perlu takut soal pendapat orang tentang diri lo, yang penting sekarang itu, lo harus percaya sama diri lo, kayak gue yang percaya sama lo.” Riki menatap wajah tertunduk itu yakin, meski takdir terasa buram saat ini, tapi apa salahnya ia yakin untuk gadis di depannya? Sejak kapan ia pernah meragukan perasaannya? Tak pernah, bahkan sampai saat ini.

“Kenapa Riki bisa percaya sama Yisa? Padahal Yisa aja ragu sama diri Yisa sendiri.” Balas Yisa sembari menatap sekilas tatapan Riki dan kembali menunduk, andaikan ia masih punya keberanian, sudah ia balas tatapan itu dengan senyumannya.

“Soalnya itu lo, Sa. Gue gak pernah ragu sama lo. Mau diri lo itu berbanding terbalik sama Yisa yang gue kenal, gue yakin! 100% kalo lo itu orang hebat, orang kuat, gue yakin sama lo. Jadi tolong percaya sama diri lo.”

Setelah mendapatkan balasan itu, Yisa diam, apa Riki sebegitu yakin pada dirinya? Apa tak pernah ada rasa ragu untuknya?

Yisa sedang mencoba kembali meyakinkan dirinya, mempercayai dirinya, menerima dirinya, juga memeluk lukanya.

Tak lama, bel apartemen berbunyi, Riki beranjak bangkit dari duduknya, membukakan pintu untuk tamunya. Sebaliknya, Yisa merasa gugup, ia sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuk tamunya kali ini.

“Hai, Karang.” Sapa pemuda itu sembari tersenyum cerah, “gue harap lo gak benci sama gue, gue tau kesan gue buruk di mata lo, gue minta maaf, gue gak paham situasi waktu itu, tapi sekarang tenang aja! Gue bakal jawab semua keraguan lo.” Lanjutnya sedikit tersenyum kikuk.

Riki yang sudah kembali duduk di kursinya itu tersenyum tak suka, mengapa orang di depannya ini bersikap seolah ia sudah mengenal siapa Yisa yang sebenarnya? Mengapa orang ini tak menyebut nama Yisa, melainkan nama yang asing baginya?

“Kak Hilal duduk dulu, mau minum apa? Yisa buatin.” Tawar gadis itu, ia tak bisa mengatakan pertanyaannya secepat ini, ia masih ragu.

“Gue gak dateng buat minum, Ra. Gue dateng buat lo, gue mau bantu lo buat kenal sama diri lo, sama kayak gue yang kenal sama lo. Gue yakin kita masih terikat.” Jawab Hilal yakin, ia yakin dirinya masih bisa mengembalikan semuanya, hidupnya.

***

Selepas bertemu dengan Hilal, gadis itu semakin meragukan dirinya, semakin ragu untuk mendengar fakta, apa sebaiknya ia lupakan saja? Dan hidup seolah tak terjadi apa-apa? Toh, tak akan ada yang ia rugikan bukan?

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang