23. HAPPY ENDING

12 6 29
                                    

<<o0o>>

Tak ada yang menceritakan pengakuan Haris beberapa hari lalu. Semua terlampau bimbang untuk kembali ikut campur atau sekedar memberi saran.

Khanza diam, ia juga tak mengatakan apapun pada Yisa. Bukan karena Khanza sudah benar-benar menyerah. Gadis itu hanya memberikan ruang untuk Haris agar lebih terbuka pada Yisa. Memberi waktu untuk Haris agar bisa menyingkirkan egonya.

"Kapan lo mau ngomong sama Yisa, Bang?" Tanya Riki pada Haris siang ini. Kantin kampus siang ini terlihat ramai dari hari biasanya.

"Nanti," jawab Haris seadanya sembari mengaduk-ngaduk makanannya tak selera. "Lo udah berapa kali nanya itu ke gue." Haris mengingatkan.

Riki menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari tertawa canggung. "Yaaa... habis gue gereget, kenapa gak dari dulu aja lo jujur sama Yisa, Bang? 'Kan urusannya jadi lebih enak kalo gitu." Riki menatap mangkuk bakso milik Haris yang sejak tadi tak tersentuh untuk dimakan.

"Masih mending." Haris tertawa hambar sejenak. "Gue punya keberanian buat bilang jujur ke Yisa, jelas gue lebih mending dari lo." Tunjuk Haris tepat di wajah Riki. Haris menunjuk Riki menggunakan garpu bertusukkan bakso miliknya.

"Kok bawa-bawa gue?" Tanya Riki heran.

"Ya, lo ngasih kisi-kisi yang gak di pahami ama Yisa, gimana Yisa mau paham sama perasaan lo? Minimal-maksimal kayak gue! Ngomong langsung ke Bunda sama Papanya Aza.... Lah, lo mah apa?"

Riki sepertinya paham kemana arah pembicaraan Haris siang ini. Mereka kebetulan berkuliah di kampus yang sama, hanya berbeda jurusan. Mereka berdua memang sering bertemu di kantin kampus yang sama, memesan beberapa menu lalu memakannya bersama sembari bermain video gim.

"Yaa... itu mah... beda lagi, atuh!" Riki memalingkan wajahnya, kenapa Haris mengetahui perasaannya pada Yisa? Apa selama ini ia pernah menunjukkan sikapnya itu di depan Haris? Rasanya tak pernah. "Lo kok ngomong gitu. Sejak kapan gue ada rasa ama adek lo." Riki kembali fokus menghabiskan kuah baksonya, diam-diam ia merasa was-was pada Haris.

"Ya emang lo pikir Yisa gak pernah cerita sama gue?" Haris tersenyum penuh kemenangan. Ia tak mau selalu disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertanya kapan ia akan bicara pada adiknya itu.

"Hah!?" Riki bangkit dari duduknya, ia menggeleng cepat. "Terus Yisa ceritanya gimana? Maksud gue, Yisa emang bilang apa sama lo? Eh, maksudnya gue itu... emang dia ngomongin gue kayak apa?" Riki terlihat takut untuk mendengar jawabnnya tapi di sisi lain pemuda itu juga penasaran.

Haris mendengus sebal, diam-diam ia tertawa penuh kemenangan di dalam hati. Lihatlah betapa Riki saat ini terlihat aneh. "Apaan, sih? Yisa cuman nanya soal kata 'Bulannya bagus, ya?' dan dia bilang lo yang nanya itu ke dia. Buat Yisa yang gak paham, mungkin itu pertanyaan biasa. Tapi buat gue.... GUE PAHAM YE, MAKSUD LO! LO NAKSIR ADEK GUE, 'KAN!? NGAKU, LO!"

"Iya, tap-" Belum sempat Riki menyelesaikan kalimatnya, Haris sudah memasukkan bakso di dalam mulut pemuda itu, membuat Riki terdiam juga sedikit terkejut.

"LO KALO MAU NAKSIR SAMA YISA LANGKAHIN DULU WAJAH MANUSIA TERGANTENG SEALAM SEMESTA INI!" Haris menatap sengit Riki di depannya.

"Dih."

***

"Ra, ketemu Ayah, yuk!" Ajak Hilal pada adiknya. Adiknya yang sudah terpisah darinya selama belasan tahun.

"Hah? Eh? Boleh, ya?' Ragu-ragu Karang menatap netra Hilal. "Yis-"

"Berhenti pake nama itu di sini. Lo itu Karang, ayo terbiasa sama nama lo sendiri. Nama pilihan Bunda." Haris menarik lengan Karang lembut, membawa gadis itu keluar dari kamarnya.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang