13. Jakarta dan Kebohongannya

21 7 49
                                    

<<o0o>>

Selepas kejadian siang tadi, Yisa tak sedikitpun terlihat dimata Haris, mungkin adiknya itu benar-benar tak ingin diganggu malam ini.

Meski pikrannya bilang begitu, Haris tetap khawatir, takut kejadian tiga tahun lalu kembali terulang.

"Sa, lo belum keluar dari tadi siang loh, sekarang udah jam delapan, lo belom makan." Haris mengetuk pintu putih kamar adiknya.

Tak banyak harapan bahwa pintu itu akan terbuka untuknya, atau ada jawaban dari dalam sana.

"Sa?" Panggilnya lagi sedikit khawatir.

"Abang makan duluan aja, Yisa gak laper."

Mendengar suara adiknya saja sebenarnya sudah cukup bagi Haris, tapi ia tak benar-benar yakin dengan jawaban adiknya di dalam.

"Gue minta Mama sama Papa pulang, lo tungguin, ya? Lo bebas tanya apa aja hari ini, anggep itu hadiah." Haris duduk di depan pintu putih kamar adiknya, menyenderkan punggungnya di pintu.

"Yisa gak yakin sama Mama Papa, Abang. Yisa cuman percaya sama Abang sekarang." Balasan samar dari adiknya membuat Haris diam seribu bahasa, apa yang harus ia lakukan?

"Pertanyaan Yisa tadi siang belum Abang jawab." Lanjut Yisa dari dalam.

"Ah, itu? Lo mau jawaban kayak apa?" Haris sedikit ragu dengan jawabannya.

"Jawaban paling jujur yang Abang punya, mau itu bakal nyakitin hati Yisa atau sebliknya, Yisa bakal nerima." Balas Yisa cepat, ia tak ingin membuang waktu.

Haris menghela napasnya berat, inilah yang paling ia takutkan selama tiga tahun terakhir, pertanyaan dimana ia harus jujur tentang segala perasaannya.

"Gini ya, Sa. Lo itu adek gue, adik dari Zauzan Haris yang paling kece se-Jakarta." haris terkekeh pelan, ia tahu leluconnya kli ini tak akan berpengaruh apa-apa.

"Jakarta? Apa gak kurang luas jangkauannya? Gimana kalo paling kece se-Mars?" Balas Yisa, sama halnya dengan Haris, gadis itu ingin mencairkan suasana diantara kedauanya.

"Sebelum itu, gue mau bilang makasih buat lo, ya... walopun gue lebih baek dari lo. Makasih ya, Sa. Makasih karena udah sabar sama kelakuan gue." Haris mengetuk ngetukkan jarinya di dinding pintu, tersenyum pahit, kenapa suasananya menjadi canggung seperti ini?

"Sa... kalaupun lo bukan adek gue dan gue bukan abang lo, apa itu mempengaruhi jawaban gue? Tentu jawabannya enggak, gue selalu melibatkan perasaan gue buat lo. Funfact, Sa. Gue gak suka kalo lo deket sama Aman, gue takut Aman jauh lebih baik dari gue, gue takut dia memperlakukan lo jauh lebih baik dari gue, gue bukannya apa, ya? Ah! Pokoknya gue gak mau lo lebih bahagia sama orang lain selain gue. Gue abang lo, kan? Gue berhak bilang gitu, kan? Gue juga berhak punya perasaan kayak gitu, kan?"

"Kalaupun gue bukan abang lo dan lo bukan adek gue, gue harap lo gak mandang gue sebelah mata, Sa. Gue tau gue gak pantes di sebut sebagai 'abang', gue bahkan gak ada apa-apanya dibanding Juan, gue baru pertama kali jadi abang, jadi maaf kalo gue banyak minusnya."

"Gue harap, semua ucapan lo gak bohong, soal lo yang sayang sama gue.... Tapi lo harus tau! Gue jauh lebih sayang sama Aza." Haris terkekeh, mengusak sedikit cairan bening di ujung matanya. "Ah, kok mata gue perih, sih? Lo gak beresin kamar? Debunya banyak banget!"

Haris tertawa hambar, pemuda itu kembali menghela napasnya berat, mengapa hari ini terasa lebih panjang? Mengapa malam berjalan begitu lamban?

"Sa, maaf kalo gue pernah benci sama lo, maaf kalo dulu gue gak suka sama lo, maaf kalo gue pernah nolak lo. Abang lo ini gak pinter mainin kata, tapi Sa, apapun yang terjadi kedepannya mau dunia bilang kalo gue bukan abang lo, lo harus percaya sama gue."

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang