7. Siapa Aku?

21 8 14
                                    

<<o0o>>

Sore ini semua sudah siap untuk kembali menuju Jakarta. Sultan mengecek semua barang bawaan dengan awas, takut ada yang tertinggal. Tak hanya barang, Sultan juga mengabsen seluruh peserta yang mengikuti kegiatan liburan ini. Pemuda itu juga yang akan membagi kelompok di mobil.

"Aza, Yisa, Marsha sama Hanni."

"Haris, Jordan, Riki, sama Juan."

"Deon, Sulaiman sama Gue."

"Udah ya? Kelompok gak bisa diganggu gugat! Keputusan gue, semua harus nurut! kalo gak nurut diturunin di tengah jalan!" Ujar Sultan galak. Semua mengangguk patuh.

Mobil yang dinaiki Yisa dan yang lain berada di tengah, di depan ada mobil yang dinaiki Sultan, di mobil paling belakang adalah mobil yang dinaiki Haris.

Semua sesuai posisi, tidak ada yang boleh menyalip, agar semua kondusif. Dimobil yang dinaiki para gadis tengah sibuk menyetel musik para boy band Korea Selatan. Meriah sekali.

Mobil yang ditumpangi Sultan sebaliknya, sunyi. Tak ada yang memilai pembicaraan, baik yang menyetir maupun yang menumpang.

Di mobil Haris, Riki dan Jordan asik bermain game online, Juan dan Haris yang berada di kursi depan saling berbincang ringan, membicarakan kegiatan kuliah minggu depan, soal penyelenggaraan konser kampus.

"Ck! Kalah mulu!" Jordan bersungut-sungut kesal. Mematikan handphone-nya. Tak lagi ingin bermain dengan Riki. Anak itu terlampau hebat mengalahkan dirinya.

"Yahh, cemen!" Riki ikut menyelesaikan permainannya. Lama-lama menatap layar ponsel juga membuat kepalanya pening. Tak baik.

"Oh ya, Ris, gue mau tanya dong." Jordan mengalihkan topik pembicaraan Haris dan Juan. Keduanya menoleh ke arah Jordan, Juan kembali fokus pada jalanan. Riki menatap keluar jendela mobil. Tak tertarik.

"Tumben lo nanya ke gue pake ijin." Haris kembali pada posisi awal, lelah sekali bila harus menoleh ke arah Jordan. Lama-lama membuatnya sakit mata.

"Hehe," Jordan menepuk bahu Riki. Riki mendecih sebal.

"Soal adek lo," mulai Jordan agak ragu, tapi demi memuaskan rasa penasarannya ia sungguh berani saat ini. Juan tiba-tiba saja melambatkan laju kendaraan. Riki menoleh, mulai tertarik. Haris membuang napas lelah. Ia tak menghentikan Jordan untuk bertanya.

"Awalnya gimana? Gue masih bingung soal Yisa, Ris. Lo gak pernah tuh, cerita atau kabarin gue soal lo punya adek." Jordan menatap punggung kepala Haris di kursi depan.

"Dia beneran adek lo? Bukannya gue ngungkit-ngungkit masalah keluarga lo, Ris. Tapi serius, Yisa tau soal ini? Mungkin anak itu keliatan baik-baik aja di depan lo dan ortu lo. Tapi, bukannya ada kemungkinan dia juga bingung kayak gue?"

"Maksud lo?" Haris berusaha menetralkan ekspresinya, ia tak ingin terlihat kesusahan menjelaskannya. Jujur saja, semua hal tentang Yisa itu rumit.

"Lo serius gak paham atau pura-pura?" Jordan mulai serius dengan pertanyaannya. "Maksud gue, Yisa tau soal dia yang sebenernya apa enggak? Sejauh ini, dari awal gue ketemu sama lo, lo itu cuman anak tunggal. Terus, dua hari yang lalu, tiba-tiba lo bilang kalo lo punya adek, Yisa. Serius gue bingung, Yisa beneran adek lo, atau bukan?"

Haris sudah ingin berbicara, tapi Jordan kembali mengangkat suara.

"Masih ada lagi. Denger-denger dari ceritanya Aza, Yisa gak ambil sekolah formal kayak Riki. Padahal mereka kan, semumuran (?). Dan ini semakin bikin gue bingung," Jordan diam sejenak, menunggu reaksi Haris.

"Bingung apanya? Bukannya lebih terjaga kalo Yisa Home Schooling? Lo yang aneh." Haris mulai terpancing dengan pertanyaan Jordan. Sebaliknya, Jordan berseru dalam hati, senang.

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang