.ENDING.
Ruangan luas kediaman Hilal kini di huni banyak orang, tapi senggang. Tak ada yang bersuara, sesekali hanya terdengar helaan napas panjang dari mereka.
Pikiran Hilal melayang, apa yang harus ia katakan? Ia bahkan takut untuk bicara saat ini. Tepatnya bicara di depan Ayah juga Karang.
Semua tatapan tertuju padanya, sesekali pada Aman yang duduk berhadapan dengannya.
Situasi seperti ini membuat Hilal semakin takut. Siapa yang akan memihaknya? Ayah? Karang? Bahkan hati kecilnya tak memihak padanya.
"Nak Haris... terima kasih sudah mau mencoba tes DNA Hilal dan Karang, ya.... Ayah sangat berterima kasih sekali, kalau tidak begitu, mungkin sampai sekarang Karang gak akan pulang." Ayah berujar lembut, memulai pembicaraan.
Ayah masih setia mengelus punggung tangan Karang, gadis itu duduk diam di samping Ayah, sesekali melirik Aman yang tersenyum ke arahnya.
Ah, sejak datang Aman sudah tersenyum seperti itu. Rasanya Karang mengingat seuatu. Kehangatan yang terasa di dalam hatinya. Ia seolah menemukan bagian yang hilang dalam dirinya.
Bukankah Aman berbeda? Pemuda itu bertingkah tidak biasa. Biasanya ia mendapati Aman yang melamun atau bercerita dengan wajah sedikit sedih. Ini pertama kali baginya menatap wajah bahagia Aman. Ini menyenangkan.
"Eh? itu sebenernya bukan ide Haris aja, Om... Kak Aman yang nyaranin." Haris menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tersenyum malu-malu di depan Ayah.
"Riki juga ikut nyarainin, kok!" Pemuda tinggi itu berucap. Riki sedikit kesal, mengapa Haris tak menyebut namanya juga? Bukankah ia juga ikut menyarankan, jauh sebelum ia tahu bahwa Aman juga menyarankan hal itu.
"Lo diem aja, udah. Gak usah pengen ke notice gitu, malu dong, malu!" Haris menyikut lengan Riki, ia merasa menyesal sudah mengajak pemuda itu ikut menemui keluarga adiknya.
"Malu kenapa? Bagus dong, biar lebih terpantau." Riki menjawab asal, pemuda iku kembali membenarkan posisi duduknya, tersenyum menatap Ayah.
"Kalau begitu terima kasih juga, Nak Riki. Ayah gak akan bisa ketemu Karang kalau kalian gak menyarankan tes DNA.... Awalnya Ayah sudah menyerah mencari keluarga Aman, rumah lamanya sudah gak berpenghuni." Ayah tertawa di akhir kalimat. "Ternyata Aman tinggal di Jakarta, ya? Sejak kapan, Man? Ayah kangen liat kalian berantem tiap hari." Ayah tersenyum lebar, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar bahagia.
Riki dan semua yang berada di sana mengangguk lalu balas tersenyum.
"Aman baru kok, di Jakarta, Yah.... Gak nyampe setahun di sini, yang duluan ke Jakarta itu Karang. Udah empat tahun kalau di hitung dari awal Karang belajar di sini." Aman menjawab sopan, terlihat sekali dari nada bicaranya juga gestur tubuhnya.
"Empat tahun? Ngapain aja?" Ayah melirik Karang yang duduk di sampingnya heran.
"Oh itu! Aza boleh jawab gak?" Gadis bergamis merah muda itu mengacungkan tangannya, wajahnya terlihat sangat antusias.
"Jadi gini, Ayahnya Ara.... Dulu Aza sama Ara temen se kampus, kebetulan kita masuk di kelas yang sama. Aza cukup deket kok, sama Ara! Kita sahabatan! Tapi, tiba-tiba Ara pergi, katanya ada hal yang mau di omongin ibunya di kampung, Ara harus pulang cepet." Khanza menjeda ucapannya, padahal ia sudah berlatih untuk mengatakan ini. Tapi bagian akhir ini sulit, berkali-kali ia mencobanya, rasanya tetap sama, sakit.
"Terus?" tanya Ayah penasaran.
"Te-terus...? Ah, Aza gak dapet kabar dari Ara sekitar dua minggu, dan tiba-tiba ada kabar dari kampus, termasuk temen satu kostnya Ara. Kalo Ara itu...," Khanza diam kembali, ia meremat gamisnya kuat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Luka
Fanfiction"Surat-surat itu tak pernah sampai pada penerimanya." Season II of Karang & Hujan. Start : 8 January 2024 Finish : 6 April 2024