Kehilangan Fungsi Rumah

7 1 0
                                    

Liani memasuki ruang kerja ayahnya yang didominasi warna putih. Beberapa lukisan
kaligrafi terbentang menawan di dinding ruangan. Seorang pria berusia separuh baya duduk takzim menghadap layar komputer.

“Assalamu'alaikum, Ayah.” Liani menyapa hangat dengan senyum mengembang.

“Wa'alaikumussalam, Lia,” balas ayahnya sembari mengalihkan pandangan dari layar
komputer.

“Makan siang untuk Ayah.” Liani meletakkan kotak bekal di atas meja. Gadis itu duduk di salah satu kursi dekat meja kerja ayahnya.

Ayah Liani meraih kotak dan membukanya antusias. “Wah. Rawon kesukaan Ayah, nih!” serunya senang. Aroma kluwek dari rawon daging sapi itu menyeruak. Memasuki rongga hidung dan menggugah selera.

“Kamu sudah makan, Lia?”

“Sudah, Yah.” Liani hanya menjawab singkat sembari memperhatikan ekspresi ayahnya yang senang sekali.

Ayah Liani mulai menyantap makan siang. Nasi hangat dan rawon disertai tauge dan sambal khas buatan istrinya. Tidak lupa kerupuk udang dengan rasa gurihnya.

“Bagaimana kuliah kamu hari ini?” Ayah Liani bertanya di sela-sela menyantap makan siang.

“Lancar, Yah. Hari ini mata kuliah Ilmu Pendidikan menyenangkan sekali,” jelas Liani antusias.

Ayah Liani manggut-manggut. “ Apa saja yang dipelajari di mata kuliah itu?”

“Bahas prinsip-prinsip dasar kependidikan dan konsep dasarnya, Yah. Juga gimana
penerapannya dalam dunia pendidikan. Seperti pandangan tentang manusia, sudut pandang pendidikan dan masih banyak lagi.” Liani dengan senang hati menjelaskan.

“Wah, anak gadis Ayah semakin hebat saja sekarang.” Ayah Liani memuji tulus mendengar penjelasan Liani yang lugas dan jelas. Dia memang tidak salah jika bilang Liani adalah anaknya yang hebat. Sejak duduk di bangku kelas 1 SD sampai lulus SMA, Liani tidak pernah keluar dari rangking tiga besar.

“Ayah bisa aja!” Liani tersipu malu.

Makan siang yang menyenangkan. Setengah jam ke depan Liani dan ayahnya terus membahas bagaimana kuliahnya beberapa hari terakhir. Membahas dosen yang mengajar, bangunan kampus sampai kantin dan apapun yang terlintas di kepala. Liani juga bertanya tentang perkembangan usaha konveksi pakaian milik keluarga mereka.

Hari ini memang hanya ada satu mata kuliah. Liani menyempatkan untuk pulang dan mengantar makan siang untuk ayahnya. Bersama ayahnya selalu menyenangkan dengan percakapan-percakapan sederhana.

Liani memang pandai dalam akademik—itu memang tidak bisa dibantah. Dia lahir di
keluarga yang sangat mencintai pendidikan. Namun bukan berarti Liani lantas sempurna dengan semua yang dimilikinya. Ada banyak hal yang Liani tidak mengerti dengan baik, tapi itu justru adalah caranya untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

“Oh, iya Abizar gimana?” tanya ayahnya setelah mencuci tangan.

“Gimana apanya, Yah?”

“Kuliahnya.” Ayahnya tertawa. “Kalau raganya Ayah tau dia sehat-sehat aja.”

“Oh, kayaknya lancar, Yah. Liani juga kurang tau.” Gadis itu menatap desain baju pengantin berwarna putih di etalase kaca ruang kerja ayahnya. Baju pengantin yang begitu menawan dengan corak lily yang memesona.

“Tapi Abizar termasuk anak yang santai, ya, Li. Sebenarnya dia nggak mau lanjut kuliah, kan. Pengennya jadi musisi. Drumer.” Pria itu menyandarkan punggung dan tampak
memikirkan sesuatu. Liani menoleh. Menunggu kalimat berikutnya.

“Tapi tetap kuliah karena permintaan orang tuanya,” sambung Ayah Liani.

Liani tidak menanggapi. Hanya manggut-manggut sembari memikirkan hal lain. Tapi bukankah sesuatu yang terkesan dipaksa tidak akan berjalan dengan baik? Kenapa Abizar tidak bilang baik-baik pada orang tuanya jika dia tidak ingin berkuliah. Menolak dengan argumen meyakinkan yang masuk akal.


***


Abizar melemparkan stik drum ke sembarang arah. Menambah berantakan kamar yang sudah sepekan tidak dibersihkan. Pakaian kotor berserakan dimana-mana. Ditambah pula dengan
puntung rokok yang bergelimpangan tak tentu arah.

Hanya sebuah pigura kecil di atas meja belajar yang terlihat waras. Disegel rapat dengan etalase kaca. Bahkan debu pun tak mampu menembusnya. Foto yang menampilkan dua remaja usia 12 tahun di sebuah taman kota.

“Mas Abi, makan malamnya sudah siap.” Suara ramah itu terdengar.

“Iya, Bi. Nanti Abizar makan!” sahut Abizar sembari mengempaskan tubuh di atas ranjang.

Tubuh bertelanjang dada itu terbenam di kasur berukuran besar. Pemuda berambut gondrong itu meraih ponsel. Menekan satu nama. Dia meletakkan layar ponsel di telinga. Menunggu.

Sepuluh detik. Terdengar suara.

“Lo dimana, Bro?” tanya Abizar cepat.

"Rumah,” jawab seseorang di seberang telepon.

“Nggak nongkrong?” Abizar bertanya cepat.

“Nggak dulu, Bro. Lagi ngerayain ulang tahun nyokap gue.”

Abizar terdiam sejenak lalu mengusap wajahnya sekilas. “Oh. Oke.”

Sambungan telepon diputus. Dia melemparkan ponsel sembarangan. Tidak peduli jika benda keluaran terbaru dengan spesifikasi terbaik di masanya itu justru terbanting ke lantai dan rusak. Bukankah ada sesuatu yang telah rusak sejak dulu, tapi tak pernah diperbaiki?

Abizar mendengus kasar. Kamarnya yang berpendingin ruangan dengan tingkat dingin maksimal terasa pengap saat malam tiba. Seperti menghuni ruangan tanpa udara. Menyesakkan sekali. Aroma sepi hinggap di lelah batinnya.

Abizar bangkit dan keluar kamar. Cacing-cacing di perutnya sudah mengoyak-ngoyak lambung. Sejak pagi dia tidak menyentuh makanan. Hanya menyeduh kopi dan mengisap batang tembakau.

“Hai, Bi!” Abizar menyapa hangat.

Perempuan paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga di istana megahnya hanya membungkuk sopan. Bi Ratna.

“Bibi udah makan?” tanya Abizar sembari duduk di kursi. Sepiring nasi goreng topping telur mata sapi dan kerupuk udang telah menanti untuk disantap. Pemuda itu mulai melahapnya.

“Udah, Mas.”

Abizar hanya mengangguk sebagai jawaban. Di antara banyaknya makanan mewah yang bisa dihidangkan oleh keluarga kaya rayanya, Abizar hanya meminta dimasakkan nasi goreng telur mata sapi untuk mengganjal perut. Bukan tanpa alasan. Hanya sepiring nasi goreng yang mampu mengingatkannya pada kenangan indah itu di masa lalu.

“Mas Abi jangan keseringan makan nasi goreng, nanti bisa gendut loh.”

Abizar tertawa mendengar kalimat itu. “Kalau gendut memangnya kenapa, Bi?”

“Nanti nggak ada cewek yang naksir.” Bi Ratna menjawab polos dengan logat khasnya.

Tawa Abizar semakin pecah. Bi Ratna hanya nyengir sebagai respon.

“Kalau soal badan aja dipermasalahkan, berarti ceweknya nggak tulus, Bi. Abi nggak mau.”

Sampai larut malam mereka bercerita banyak hal tentang apapun yang terlintas di kepala. Bi Ratna jelas adalah teman yang menyenangkan untuk mengusir penat bagi Abizar.

Kelakar lucu dan tampilan sederhananya membuat Abizar menemukan rumah baru untuk melepas segala resah. Bukankah orang tuanya sudah kehilangan fungsi itu?



*****

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca Penantian Liani. Semoga suka dan support kisah ini dengan tekan vote, ya.
Salam hangat 😊

Penantian LianiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang