Abizar melangkah gontai di selasar sebuah masjid tak terlalu besar yang berada di gang kecil. Berdempetan dengan rumah-rumah warga. Sebuah beduk usang terparkir di dekat pintu masjid.
Abizar duduk di selasar dan mengusap wajah. Dia menoleh. Menatap jamaah masjid yang hampir selesai menunaikan salat subuh.
Abizar termenung, tatapannya kosong. Isi kepalanya riuh oleh banyak hal yang tak ingin dibicarakan dengan siapapun. Abizar terlalu malu untuk bilang bahwa dia butuh tempat bersandar. Membiarkan kecamuk itu hilang dengan sendirinya adalah jalan yang dia pilih.
Sepuluh menit. Abizar menggeser tubuh lelahnya. Beberapa jamaah hendak pulang. Satu dua menatapnya sekilas kemudian berlalu dan tidak peduli.
“Abizar?”
Suara hangat itu memanggil. Terdapat keraguan di vokalnya yang menyentuh sanubari. Dia mendekat.
Abizar mendongak. Menatap sosok tinggi dengan wajah bersih baru saja menyelesaikan salat subuh. Sekarang menatapnya seolah tak percaya.
“Abay?” Abizar sama kagetnya dengan pemuda di hadapannya sekarang. Dia berdiri dengan perasaan kaget yang masih bersarang.
“Iya, gue Akbar. Teman SMA lo.” Dia tertawa.
“Ini beneran lo, Zar!” Pemuda berwajah bersih itu mendekat dan menepuk bersahabat bahu Abizar yang masih goyah. Abizar tidak memberikan respon.
“Lo apa kabar, Zar?” Akbar bertanya antusias. Dia tidak menyangka, setelah dua tahun berpisah akhirnya bisa bertemu kembali.
Abizar berusaha mengendalikan napasnya. “Baik. Lo apa kabar?”
“Alhamdulillah gue baik.”
“Oh, iya beberapa hari lalu gue ketemu sama Lia, tapi entah kenapa lupa terus mau nanyain lo sama dia,” jelas Akbar. Akbar punya pembawaan yang selalu tenang dan bersahabat dengan siapapun. Sulit untuk menafikan bahwa dia adalah orang yang mampu membawa aura positif.
“Lo udah salat?”
Abizar menggeleng. Kalimat itu salah besar. Seharusnya Akbar bertanya, apakah Abizar
masih menunaikan salat? Entah sudah berapa lama Abizar tidak lagi menjalankan
kewajibannya sebagai seorang muslim. Bahkan dia lupa sudah berapa lama hatinya terasa mati.
“Masih ada waktunya, kok. Buruan salat.” Akbar tersenyum hangat. Menyilakan pemuda berambut gondrong itu untuk masuk ke masjid.
Abizar menggeleng. “Pakaian gue kotor.” Dia berkelit mencari alasan sembari menampakkan pakaiannya yang berantakan. Ditambah pula dengan ripped jeans berdebu dan sisa alkohol di mulutnya.
“Di dalam ada sarung sama beberapa baju yang bisa lo pinjam.” Akbar masih berusaha mengetuk pintu hati itu. Namun apa hendak dikata, Abizar bukan tipe yang mudah digoyahkan oleh apapun.
“Iya. Nanti gue salat,” pungkas Abizar dengan raut wajah sebal.
“Lo mau kemana sekarang?” Abizar bertanya cepat—mengalihkan topik pembicaraan.
Akbar menghela napas pelan. Dia tahu bahwa Abizar tidak akan salat jika sudah berkata begitu. Tidak apa. Yang penting dia sudah mengingatkan. Kewajibannya gugur.
“Ada urusan,” jawab Akbar singkat. Dia duduk di selasar dan memasang sepatu hitam putihnya. Menatap rona gelap di gang kecil tempat masjid itu berdiri.
“Lo masih tinggal di rumah lama, Zar?” Akbar bertanya.
Abizar mengangguk. Pemuda itu seharusnya senang bisa bertemu kembali dengan teman lamanya yang dulu sangat baik padanya. Tapi kenapa perasaannya kalang kabut saat menyaksikan kehadiran Akbar di depan matanya? Kenapa kehadiran Akbar membuat hatinya gundah dan dihantui khawatir yang berlebih?
“Lo kenapa pergi tiba-tiba dua tahun lalu?”
Pertanyaan Abizar barusan membuat Akbar terdiam seketika. Pertanyaan yang berusaha dihindarinya dua tahun terakhir akhirnya terucap dari bibir seseorang yang dikenalnya.
***
“Kamu beneran nggak mau diantar sama Ayah?” Ibu Liani bertanya sekali lagi pada Liani yang duduk di kursi teras rumah. Memasang sepatu hitamnya ke kaki.
“Beneran, Bu Liani naik angkutan umum aja.”
“Rumahnya lumayan jauh, loh.” Ibu Liani memberitahu.
“Iya, Liani tau tapi nggak masalah, Bu. Masih di kota kita juga.”
Ibu Liani mengembuskan napas perlahan dan mengangguk. Liani memang sedikit keras kepala. Sekali tidak, ya tidak.
“Lia pamit, ya, Bu.” Liani menyalami tangan ibunya. Dia tersenyum dan melenggang pergi meninggalkan rumahnya yang asri dengan bunga-bunga indah yang sebentar lagi mekar. Ibu Liani melambaikan tangan dan melepas anak gadisnya pergi.
Hari libur. Liani akan menghadiri undangan Viani untuk datang ke acara syukuran di hari ulang tahun papa Viani. Diundang dalam acara keluarga Viani membuat Liani merasa tersanjung dan berkewajiban untuk hadir di sana. Menghormati orang yang sudah percaya padanya.
Liani berhenti di sebuah toserba yang berada tidak jauh dari gang rumahnya. Toserba berukuran besar berdiri gagah di antara bangunan-bangunan serupa. Liani harus membawakan sesuatu untuk datang ke sana.
Lima belas menit. Liani keluar dengan paper bag berukuran berukuran sedang. Ditambah pula dengan satu paper bag miliknya—cat untuk melukis kaligrafi.
Liani menunggu di tepi jalan raya. Tidak lama kemudian sebuah angkot berhenti dan menyapa. Liani menyebutkan tujuan dan naik ke angkot yang terisi beberapa orang.
Liani menatap jalanan dari jendela kaca yang sedikit berdebu. Beberapa pengamen terlihat memadati jalanan saat lampu merah. Liani tersenyum saat menyaksikan manusia berpakaian khas badut yang menghibur anak kecil di atas motor.
Pemandangan yang lumrah terjadi di suasana pagi.
Angkot berhenti saat salah satu penumpang berteriak "minggir". Ibu-ibu berkerudung turun dengan kantong plastik besar berisi keperluan dapur. Liani ikut membantu saat ibu-ibu itu kesulitan menurunkan kantong belanjaan.
“Terima kasih, Nak.”
Liani mengangguk. “Iya, sama-sama, Bu.”
Sopir angkot kembali menekan pedal gas dan membelah jalanan. Menuju pemberhentian selanjutnya. Liani menatap arloji yang melingkar di tangan. Semoga dia tidak telat menghadiri acara itu.
Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba angkot berhenti mendadak. Sopir angkot memeriksa mobil miliknya. Dia mengumpat sebal saat menyadari ban pecah.
“Maaf, Bu, Neng ban angkotnya pecah. Jadi nggak bisa ngantar sampai tujuan,” ucapnya memberitahu.
Liani dan dua penumpang lain turun. Membayar separuh jarak untuk menghargai sopir angkot itu. Liani berpikir sejenak. Apakah dia harus memesan ojek online untuk tiba di rumah Viani?
Dia merogoh saku. Sial. Ponselnya tertinggal di atas nakas. Liani mengedarkan pandangan.
Dia berada di dekat gang yang jauh dari ramai. Sulit menemukan angkot baru di sana.
“Lia!”*****
Hai, terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca Penantian Liani.
Salam hangat 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Liani
Teen Fiction"Lia, kamu mau kemana? Aku tidak bohong soal gadis itu, dia hanya masa lalu. Apa yang kamu khawatirkan dari seseorang yang telah jauh tertinggal di hari dulu?" "Justru orang yang ada di masa lalu yang harus aku khawatirkan, Bay. Bukankah dia yang le...